Rabu, 25 Agustus 2010

TAHFIZUL QURANUL QARIM

Alhamdulillah kemarin berkesempatan dinas lagi, kali ini dalam rangka pemantauan lingkungan Proyek SUTT.

Seperti biasa, banyak pengalaman yang diperoleh yang dapat dijadikan pelajaran yang berharga. Saking banyaknya bingung mau ditulis (baca: dishare) yang mana via notes kali ini.
Untuk sementara, yang bisa saya tulis adalah sebagian 'hal' yang saya tak menyangka akan menemuinya yang membuat saya menjadi kagum akannya.


Persisnya, pada hari kedua dinas, rute yang akan kami tempuh adalah menyusuri jalur SUTT Asam-Asam - Mantuil section 7 s.d 13 (atau tepatnya daerah Pelaihari s.d Mantuil). Pada saat berada di daerah Gambut atau tepatnya di desa Guntung Ujung, saya menemukan sebuah tempat yang membuat saya terheran-heran namun justru kagum luar biasa (sampai susah mengungkapkannya dalam bentuk kata-kata).


Ketika itu, saya dan teman kantor saya menuju titik tower T.271 yang berdekatan dengan rumah warga (memang sengaja dicari titik tower yang dekat dengan rumah warga, agar bisa dimintakan pendapat dari warga yang rumahnya terkena jalur transmisi, apakah ada keluhan dan lain sebagainya, yang nantinya akan kami tampung untuk dijadikan bahan kajian bagi kami untuk kedepannya - namanya juga pemantauan lingkungan).


Nah, untuk T.271 ini, permukiman warga yang berada dekat dengan titik tower terasa sedikit berbeda deangan permukiman yang lain. Di situ terdapat beberapa bangunan yang terdiri dari beberapa petak kamar (dari luar sih nampak seperti itu), sebidang tempat parkir dan sebuah mushala. Setelah saya amati, ternyata itu adalah sebuah pesantren khusus laki-laki. Pesantren dengan ukuran yang sangat kecil sekali (mengingat selama ini yang saya kenal, sebuah pesantren adalah tempat luas yang menampung puluhan bahkan ratusan santri).


Dan setelah teman kantor saya (Eko) mengajak bicara salah satu santri di situ yang ternyata bernama Abdul Wahid, kamipun akhirnya mengetahui bahwa pesantren tersebut memang baru dibangun oleh H. Suni yang berasal dari Martapura. Sengaja dibangun untuk kalangan terbatas yaitu terbatas hanya pada anggota keluarga saja. Makanya pesantrennya dibuat dengan skala kecil, yang ternyata menampung 20 orang santri saja.


Teman kantor saya (termasuk saya) cukup heran juga, mengapa pesantren dibangun di tempat seterpencil itu (kalau bukan karena dinas, tentu saya tak akan pergi ke titik tower T.271, dan kalau saya tak pergi ke T.271 mungkin saya tak akan tau kalau di situ ternyata ada sebuah pesantren kecil yang asri). Tapi 'keheranan' saya terjawabkan oleh penjelasan Wahid, bahwa tempat terpencil memang sengaja dipilih untuk memudahkan mereka dalam menghapal Al Quran. Karena tujuan pesantren ini adalah untuk menghasilkan para penghapal Al Quran, sesuai dengan nama pesantrennya yaitu PESANTREN TAHFIZUL QURANUL QARIM.

Subhanallah... Sungguh saya terpana (masih bingung memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan 'kekaguman' saya). Saya merasa campur aduk setelah mengetahui bahwa di tempat seterpencil itu, ada sekelompok manusia yang sengaja menjauh dari keramaian kota (baca: duniawi) demi untuk menghapal kitab suci Al Quran. Sungguh campur aduk. Ada kagum, ada bahagia, ada haru, ada malu pada diri sendiri, ada perasaan yang benar-benar tidak bisa saya ungkapkan sampai dengan sekarang.


Berharap akan ada lebih banyak lagi tempat-tempat seperti itu yang akan menghasilkan lebih banyak lagi penghapal Al Quran di bumi Kalimantan Selatan saya yang tercinta ini.. :)

Jumat, 06 Agustus 2010

Menghargai (2)

Beberapa hari yang lalu saya didinaskan oleh kantor tempat saya bekerja untuk membantu tim pembebasan tanah proyek SUTT 150 kV AA-BL untuk bernegoisasi dengan warga di suatu kecamatan yang kebetulan dilalui oleh jalur transmisi tersebut. Saya sih cuma bantu ngetik-ngetik saja bikin berita acara, sementara yang bernegoisasi adalah Bapak senior di kantor yang memang sudah terbiasa bernegosiasi.

Terus terang sy senang dengan dinas kali ini karena ini benar-benar merupakan pengalaman pertama (dan berharga) bagi saya untuk bisa berinteraksi langsung dengan warga yang tanahnya akan dibangun tapak tower. Tadinya sy cuma dengar-dengar cerita saja dari teman-teman di kantor bagaimana susah dan senangnya (tapi kebanyakan susahnya sih :D) dalam bernegoisasi dengan warga. Kebanyakan dari warga biasanya banyak yang mempersulit dengan tidak mau menjual tanah mereka. Sebenarnya itu sangat wajar dan 100% merupakan hak mereka, tapi kadang yang membuat sy tak habis pikir adalah cara mereka menyatakan ketidakmauan mereka saja. Ada yang pake acara lempar piring di ruang pertemuan bahkan ada yang bawa golok segala. Hmm.. Sepertinya bukan seperti itu cara mengeluarkan pendapat yang benar dalam sebuah forum pertemuan. Tapi mau bagaimana lagi? Seperti itulah kenyataan yang banyak ditemui.

Dan setelah sampai di hari di mana pertemuan akan berlangsung di kantor kecamatan setempat, para warga yang tanah nya terkena tapak tower pun sudah berkumpul lengkap dengan kepala desa dan sekretaris camat (pengganti Camat karena beliau sedang tidak berada di tempat). Pertemuan pun dibuka dengan sangat baik oleh SekCam. SekCam nya humoris, jadi suasana tidak terlalu tegang. Setelah itu barulah Bapak2 dari kantor saya menjelaskan apa itu jaringan SUTT, dan mengapa jaringan SUTT itu perlu dibangun, yang tentu saja tak lain dan tak bukan adalah untuk menjaga keandalan listrik yang berujung meningkatkan pelayanan pada masyarakat terhadap ketersediaan listrik. Tak hanya sampai di situ, Bapak2 tersebut juga menjelaskan pembangunan SUTT tersebut dari segi teknis yang berhubungan dengan safety nya terhadap warga yang nantinya tinggal di sekitar area tower.

Semua berjalan lancar sampai dengan proses negoisasi dimulai. Yang namanya negoisasi tentu saja adalah tawar menawar antara pemilik tanah dengan pembeli. Sebagai pembeli, kami menawar dengan harga A/m2 (sesuai dengan APBN untuk proyek ini) yang tentu saja secara tidak mengejutkan ditolak oleh warga. Mereka menginginkan harga B/m2 (dimana B = A + Rp. 190.000,-). Dan dengan bahasa yang diusahakan sehalus mungkin, Bapak2 dari kantor sy menjelaskan bahwa harga B tersebut tidak bisa disetujui, karena dari APBN nya memang sudah dianggarkan dengan harga A, tak ada alasan yang bisa membuatnya berubah. Warga kembali mencoba bernegosiasi - hal yang membuat saya merasa banyak sekali belajar. Di sini lah suatu forum benar-benar dihormati. Kedua belah pihak saling mengeluarkan pendapat di kepala mereka masing-masing dan keduanya sama-sama saling menghargai. Paling-paling hanya satu dua orang saja yang terkadang protes dengan nada yang agak tinggi, yang di telinga saya lebih terdengar seperti bercanda. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh pemimpin rapat (SekCam) yang bagus sekali dalam memimpin forum ini. Beliau berkali-kali menekankan bahwa, kalau warga mau mengeluarkan pendapat maka keluarkan saja di forum, semua pendapat akan dihargai. Sedangkan pendapat yang muncul belakangan di luar forum akan tidak ada harganya sama sekali.

Maka muncullah harga baru dari warga yaitu C/m2 (dimana C = B - Rp. 50.000,-). Dan dengan pendekatan yang lebih baik lagi, kembali Bapak2 dari kantor sy menjelaskan bahwa mereka hanya bisa memberikan harga A. Kali ini ada penjelasan tambahan dari Bapak2 dari kantor sy. Mereka menceritakan satu kasus, pengalaman dari provinsi sebelah, di mana semua pihak yang terkait (warga, aparat desa, kecamatan, dan pegawai BUMN yang bertugas negoisasi) akhirnya dipenjara karena membeli tanah warga dengan harga yang lebih tinggi dari yang dianggarkan. Hal ini dicurigai adanya praktik korupsi dengan menjual tanah melebihi yang dianggarkan di APBN.
Sungguh, sy yakin Bapak2 dari kantor sy bukan bermaksud menakut-nakuti tetapi hanya memberikan gambaran mengapa mereka sama sekali tidak bisa menaikkan harga dari harga A. Dan Alhamdulillah, para warga mau berbesar hati menerima angka A. Dan akhirnya dicapailah kata 'deal' untuk harga jual tanah di kecamatan tersebut sebesar A.

Maka proses negoisasi pun berlanjut ke negoisasi harga ganti rugi untuk tanam tumbuh tumbuhan yang tanahnya nanti akan dibangun tower. Untuk ini Bapak2 dari kantor saya mengacu pada harga ganti rugi yang dikeluarkan oleh DisBun kabupaten setempat. Dan kebetulan tanaman yang banyak tumbuh di daerah tersebut adalah karet. Untuk karet harga ganti ruginya menurut DisBun adalah sebesar X/pohon. Dan warga kali ini merasa keberatan sekali dengan harga tersebut. Menurut mereka harga tersebut sangat jauh dari harga yang pantas. Kebetulan di daerah tersebut juga ada perusahaan yang menambang batu bara. Dan perusahaan tambang tersebut berani mengganti rugi pohon karet yang mereka hancurkan sebesar Y/pohon (dimana Y = X + Rp.525.000,-).
Bapak2 dari kantor saya pun kembali menjelaskan bahwa mereka tak bisa sembarang menaikkan harga kalau tidak ada dasarnya. Dan warga tetap pada harga Y tersebut, sehingga untuk harga ganti rugi tanam tumbuh belum dicapai kata sepakat.

But well.. Ini semua benar-benar melebihi harapan kami. Tadinya kami pikir kami bakalan harus negoisasi lagi (dalam waktu yang dekat) apabila kata sepakat dalam forum tadi tidak dicapai. Tapi kami sungguh bisa tersenyum puas dengan hasil yang bisa dikatakan 'bagus'. Sepertinya warga di kecamatan itu paham benar dengan arti membangun fasilitas untuk kebaikan orang banyak. Sedikit perbedaan pendapat saya kira wajar. Bapak2 dari kantor sy tentu akan mencarikan jalan keluar yang terbaik.

Dari sini sy belajar banyak. Belajar tentang bagaimana sebuah proses negoisasi langsung dengan warga. Belajar tentang bagaimana mendengarkan, mengeluarkan, dan menghargai pendapat orang lain. Dan yang terakhir, sy benar-benar menghargai sebuah profesi. Profesi yang dulunya pernah saya remehkan (mungkin yang saya remehkan adalah orang-orang yang memiliki profesi itu yang terlanjur memberi cap buruk pada profesi yang sebenarnya menjadi cita-cita saya). Ternyata tidak semua dari mereka tidak berdedikasi. Masih banyak dari mereka yang ternyata berkualitas dan sangat berdedikasi.

Dan Alhamdulillah, perjalanan dinas kali ini berjalan lancar. Banyak pelajaran berharga yg bisa sy dapat. :)

06082010 23.09 WITA