Sabtu, 28 November 2009

Yang mahal dari motor nya orang Banjar

Argghhh.. again and again… Ada lagi temen saya yang asal pulau sebelah, nyindir ‘orang Banjar’. Otomatis diriku yang berkesukuan Banjar ikut-ikutan merasa tersindir.
Dia dengan lantangnya bilang, “Parah betul orang Banjar ni kalau bawa motor. Hanya Tuhan dan dirinya aja yang tau, kapan dia mau belok. Belok sembarangan ga pake lampu.”
Hmmm… tersinggung ga sih kalian (orang Banjar)? Tapi itu lah kenyataannya. Jalanan di seputaran Bjm dan Bjb pasti penuh dengan orang yang kurang tertib dalam berkendaraan. Sepertinya mereka sudah ga sayang lagi sama nyawa mereka sendiri. Ngebut dengan kecepatan tinggi di jalan raya yang ramai.
Dan parahnya lagi, motor-motor mereka itu kadang tidak sesuai dengan ketentuan. Yang paling mencolok adalah kaca spion yang cuma satu (satunya dilepas). Lalu ada lagi motor-motor yang sudah di modifikasi. Kadang knalpotnya dibikin suaranya jadi besar, kaca spion dihilangkan, motor yang dibikin ceper, dan lain sebagainya.
Sebenarnya sih sah-sah aja untuk memodifikasi motor, kan sekarang modifikasi motor sudah menjadi hobby dari banyak orang. Tapi apabila modifikasi itu sudah menghilangkan fungsi kelengkapan-kelengkapan motor, gimana donk? Kan jadi dilema. Alangkah baiknya apabila hobby modifikasi itu tidak menghilangkan kelengkapan motor. Tapi kayaknya susah ya untuk menyatukan dua hal yang bersebelahan itu..
Dan sepanjang pengetahuan saya, hobby memodifikasi motor bukan lah hobby yang murah. Dibutuhkan dana yang cukup besar untuk bisa memodifikasi sebuah motor sesuai dengan apa yang diinginkan si empunya motor. Dan lagi-lagi, orang Banjar sepertinya banyak juga yang mempunyai hobby yang satu ini. Hobby yang cukup mahal.
Tapi tau kah kalian, apa yang mahal dari motornya orang Banjar? Bukan pada onderdil, bukan pada merk, bukan juga pada kehebatan pemiliknya memodifikasi motornya. Melainkan pada dua hal, yaitu: REM dan LAMPU SIGN.
Hahaha.. Lucu ya? Kenapa rem dan lampu sign bisa dibilang mahal? Karena orang Banjar malas banget memakai dua fasilitas itu. Jadi kesannya kayak mahal gitu. Dan kata teman saya, yang lebih mahal lagi adalah ‘helm’. Kemana-mana helm nya ga mau dilepas. Bahkan kadang masuk ke dalam mall sambil nenteng-nenteng helm.. Hehehe..
Terlepas dari semua itu, sebenarnya saya sangat memimpikan ketertiban berlalu lintas di KalSel khususnya di daerah Bjm dan Bjb. Terbayang betapa senangnya apabila hal itu dapat terwujud. ^^

28112009 22.45 WITA

Senin, 23 November 2009

Menghargai...

Listrik.
Apa yang ada di benak kalian ketika saya sebutkan kata itu?
Sebagian besar dari kalian mungkin akan menjawab PLN, mati lampu dan byar pett. :)
Hmmm… tak bisa dipungkiri memang bahwa akhir-akhir ini, topik ‘listrik’ menjadi sesuatu yang kembali hangat dipermasalahkan. Padam lampu sebentar saja maka akan ada banyak orang yang langsung protes keras karena merasa tidak puas dengan kinerja PLN, sampai-sampai di antara mereka ada yang bertindak anarkis terhadap pekerja PLN – hal yang sesungguhnya sangat disayangkan mengingat kita adalah manusia yang diberi akal untuk berpikir.
Sebenarnya, adalah sangat wajar bila terjadi pro dan kontra terhadap suatu masalah, apalagi menyangkut masalah penting semacam listrik yang penggunaannya memang sangat penting dalam kehidupan – mungkin setara dengan air bagi kehidupan.
Dan kalau saya ditanya, saya ini termasuk yang pro atau yang kontra? Maka saya jawab, saya termasuk yang menghargai. ^^
Saya menghargai mereka yang kontra, karena mereka memang memiliki hak untuk kontra, memiliki hak untuk protes dan menuntut pelayanan yang lebih baik karena mereka adalah pelanggan. Tapi saya benar-benar tak habis pikir dengan mereka yang melakukan tindakan anarkis tadi. Ada kejadian di mana pegawai PLN di hadang, di ikat dan dimasukkan ke comberan karena pada waktu itu listrik padam. Coba pikir dengan akal sehat yang sudah diberikan Allah. Apa dengan memasukkan pegawai PLN itu ke dalam comberan maka listrik akan menyala seketika? Ini kah cermin orang Indonesia yang berbudi?
Dan listrik padam pun sebenarnya bukan tanpa alasan, bisa karena persoalan teknis seperti jadwal perawatan secara berkala, atau terkendala oleh kurangnya dana untuk pembangunan pembangkit dan peremajaan berbagai peralatan, sampai pada kejadian yang tak terduga seperti terbakarnya trafo di GITET Cawang Jakarta. Sekali lagi, semua itu bukan tanpa alasan.

Dan jujur, saya bukan orang yang suka dengan kontroversi. Dan tujuan catatan ini sama sekali bukan untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, karena jika ya, mungkin catatan ini tidak akan pernah ada akhirnya. Oleh karena itu, pembahasan ini saya cukupkan sampai di sini.

Yang ingin saya tonjolkan di sini adalah rasa ‘menghargai’. Maka nya, judul itu lah yang saya pilih sebagai judul catatan kali ini.
Listrik.
Suatu sumber daya yang tidak seketika bisa dihasilkan begitu saja. Ada proses panjang yang harus dilalui untuk itu, yang menuntut para pekerjanya bekerja ekstra keras dengan penuh pengorbanan. Ini lah sesungguhnya yang membuat saya menghargai sebuah kinerja, sebuah usaha untuk orang banyak.
Ketika sebuah pembangkit tenaga listrik sudah berdiri, maka diperlukan saluran transmisi yang akan mengalirkan listrik dari pembangkit ke gardu induk yang akan membagikannya lagi dalam daya yang lebih kecil agar sesuai dengan daya untuk perumahan dsb.
Dari pembangunan transmisi ini lah, saya bisa tau dengan persis perjuangan itu. Di awali dengan pembebasan tanah tapak tower. Pembebasan tanah di sini maksudnya adalah membeli tanah dari pemilik tanah yang tanahnya terkena jalur transmisi.
Hanya untuk membebaskan tanah agar sebuah tower transmisi bisa berdiri, para pekerjanya harus berhadapan dengan pemilik tanah yang kadang mempersulit. Di sinilah ironisnya. Di lain pihak menuntut kinerja PLN agar lebih baik, tapi di pihak lain malah mempersulit. Tapi semua itu tetap di jalani dengan pendekatan-pendekatan dan sesuai hukum dan tata cara yang berlaku.
Kemudian sampai pada tahap pembangunan tower itu sendiri. Tower yang letaknya kadang jauh di dalam hutan, mengharuskan pekerjanya untuk masuk ke dalam hutan dan melakukan pengawasan pengecoran yang tak jarang dilakukan sampai tengah malam. Sama sekali bukan pekerjaan yang gampang.
Ketika semua tower sudah berdiri, ada lagi yang namanya ROW, semacam kegiatan inventarisasi tanam tumbuh yang terkena area stringing (penarikan kabel). Tak jarang para pekerja PLN yang melakukan kegiatan ROW dikejar dengan parang oleh warga, karena dikira akan mengambil tanah mereka, merusak kebun mereka, dsb. Sekali lagi ironis – selalu saja dipersulit tapi sebaliknya, menuntut yang lebih.
Belum lagi bila ada kerusakan di SUTT atau SUTET yang harus diperbaiki tanpa harus mematikan aliran listrik, agar semua orang tetap bisa menikmati listrik sementara pekerja PLN melakukan perbaikan atau perawatan. PDKB (Pekerjaan Dalam Kondisi Beraliran), sungguh bukan pekerjaan yang mudah karena nyawa lah taruhannya. Bekerja di atas tower dengan ketinggian 20 – 30 meter dan dalam keadaan listrik mengalir pula. Benar-benar sebuah dedikasi yang patut dihargai.
Dan itu semua hanya sebagian kecil kerja keras pekerjanya di lapangan yang saya tau.
Masih ada lagi pekerjaan di balik meja yang juga menuntut dedikasi yang tak kalah tinggi karena tak jarang para pekerjanya harus lembur bekerja sampai larut malam, agar kontrak-kontrak untuk membangun semua sarana dan prasarana kelistrikan itu bisa tercapai tepat waktu, mutu, dan biaya.

Sekali lagi, intinya adalah bahwa saya sangat menghargai – tidak ada maksud sama sekali untuk memihak. Karena jujur saja, tidak ada untungnya sama sekali bagi saya. Pegawai nya saja bukan. Tapi karena saya mengetahui kerja keras mereka lah, maka saya memutuskan untuk menghargai. Mudah-mudahan akan ada banyak lagi orang-orang yang mau menghargai dan tidak akan ada lagi yang berlaku anarkis.
For the last, cukup matikan 2 buah lampu yang tidak terpakai di rumah anda (apalagi televisi yang dinyalakan padahal tidak ditonton, dsb). Itu akan sangat berarti. Berhematlah dengan listrik. Karena listrik untuk kehidupan yang lebih baik.

Sabtu, 21 November 2009

Menghargai...

Listrik
Apa yang ada di benak kalian ketika saya sebutkan kata itu?
Sebagian besar dari kalian mungkin akan menjawab PLN, mati lampu dan byar pett. :)
Hmmm… tak bisa dipungkiri memang bahwa akhir-akhir ini, topik ‘listrik’ menjadi sesuatu yang kembali hangat dipermasalahkan. Padam lampu sebentar saja maka akan ada banyak orang yang langsung protes keras karena merasa tidak puas dengan kinerja PLN, sampai-sampai di antara mereka ada yang bertindak anarkis terhadap pekerja PLN – hal yang sesungguhnya sangat disayangkan mengingat kita adalah manusia yang diberi akal untuk berpikir.
Sebenarnya, adalah sangat wajar bila terjadi pro dan kontra terhadap suatu masalah, apalagi menyangkut masalah penting semacam listrik yang penggunaannya memang sangat penting dalam kehidupan – mungkin setara dengan air bagi kehidupan.
Dan kalau saya ditanya, saya ini termasuk yang pro atau yang kontra? Maka saya jawab, saya termasuk yang menghargai. ^^
Saya menghargai mereka yang kontra, karena mereka memang memiliki hak untuk kontra, memiliki hak untuk protes dan menuntut pelayanan yang lebih baik karena mereka adalah pelanggan. Tapi saya benar-benar tak habis pikir dengan mereka yang melakukan tindakan anarkis tadi. Ada kejadian di mana pegawai PLN di hadang, di ikat dan dimasukkan ke comberan karena pada waktu itu listrik padam. Coba pikir dengan akal sehat yang sudah diberikan Allah. Apa dengan memasukkan pegawai PLN itu ke dalam comberan maka listrik akan menyala seketika? Ini kah cermin orang Indonesia yang berbudi?
Dan listrik padam pun sebenarnya bukan tanpa alasan, bisa karena persoalan teknis seperti jadwal perawatan secara berkala, atau terkendala oleh kurangnya dana untuk pembangunan pembangkit dan peremajaan berbagai peralatan, sampai pada kejadian yang tak terduga seperti terbakarnya trafo di GITET Cawang Jakarta. Sekali lagi, semua itu bukan tanpa alasan.

Dan jujur, saya bukan orang yang suka dengan kontroversi. Dan tujuan catatan ini sama sekali bukan untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, karena jika ya, mungkin catatan ini tidak akan pernah ada akhirnya. Oleh karena itu, pembahasan ini saya cukupkan sampai di sini.

Yang ingin saya tonjolkan di sini adalah rasa ‘menghargai’. Maka nya, judul itu lah yang saya pilih sebagai judul catatan kali ini.

Listrik
Suatu sumber daya yang tidak seketika bisa dihasilkan begitu saja. Ada proses panjang yang harus dilalui untuk itu, yang menuntut para pekerjanya bekerja ekstra keras dengan penuh pengorbanan. Ini lah sesungguhnya yang membuat saya menghargai sebuah kinerja, sebuah usaha untuk orang banyak.
Ketika sebuah pembangkit tenaga listrik sudah berdiri, maka diperlukan saluran transmisi yang akan mengalirkan listrik dari pembangkit ke gardu induk yang akan membagikannya lagi dalam daya yang lebih kecil agar sesuai dengan daya untuk perumahan dsb.
Dari pembangunan transmisi ini lah, saya bisa tau dengan persis perjuangan itu. Di awali dengan pembebasan tanah tapak tower. Pembebasan tanah di sini maksudnya adalah membeli tanah dari pemilik tanah yang tanahnya terkena jalur transmisi.
Hanya untuk membebaskan tanah agar sebuah tower transmisi bisa berdiri, para pekerjanya harus berhadapan dengan pemilik tanah yang kadang mempersulit. Di sinilah ironisnya. Di lain pihak menuntut kinerja PLN agar lebih baik, tapi di pihak lain malah mempersulit. Tapi semua itu tetap di jalani dengan pendekatan-pendekatan dan sesuai hukum dan tata cara yang berlaku.
Kemudian sampai pada tahap pembangunan tower itu sendiri. Tower yang letaknya kadang jauh di dalam hutan, mengharuskan pekerjanya untuk masuk ke dalam hutan dan melakukan pengawasan pengecoran yang tak jarang dilakukan sampai tengah malam. Sama sekali bukan pekerjaan yang gampang.
Ketika semua tower sudah berdiri, ada lagi yang namanya ROW, semacam kegiatan inventarisasi tanam tumbuh yang terkena area stringing (penarikan kabel). Tak jarang para pekerja PLN yang melakukan kegiatan ROW dikejar dengan parang oleh warga, karena dikira akan mengambil tanah mereka, merusak kebun mereka, dsb. Sekali lagi ironis – selalu saja dipersulit tapi sebaliknya, menuntut yang lebih.
Belum lagi bila ada kerusakan di SUTT atau SUTET yang harus diperbaiki tanpa harus mematikan aliran listrik, agar semua orang tetap bisa menikmati listrik sementara pekerja PLN melakukan perbaikan atau perawatan. PDKB (Pekerjaan Dalam Kondisi Bertegangan), sungguh bukan pekerjaan yang mudah karena nyawa lah taruhannya. Bekerja di atas tower dengan ketinggian 20 – 30 meter dan dalam keadaan listrik mengalir pula. Benar-benar sebuah dedikasi yang patut dihargai.
Dan itu semua hanya sebagian kecil kerja keras pekerjanya di lapangan yang saya tau.
Masih ada lagi pekerjaan di balik meja yang juga menuntut dedikasi yang tak kalah tinggi karena tak jarang para pekerjanya harus lembur bekerja sampai larut malam, agar kontrak-kontrak untuk membangun semua sarana dan prasarana kelistrikan itu bisa tercapai tepat waktu, mutu, dan biaya.

Sekali lagi, intinya adalah bahwa saya sangat menghargai – tidak ada maksud sama sekali untuk memihak. Karena jujur saja, tidak ada untungnya sama sekali bagi saya. Pegawai nya saja bukan. Tapi karena saya mengetahui kerja keras mereka lah, maka saya memutuskan untuk menghargai. Mudah-mudahan akan ada banyak lagi orang-orang yang mau menghargai dan tidak akan ada lagi yang berlaku anarkis.
For the last, cukup matikan 2 buah lampu yang tidak terpakai di rumah anda (apalagi televisi yang dinyalakan padahal tidak ditonton, dsb). Itu akan sangat berarti. Berhematlah dengan listrik. Karena listrik untuk kehidupan yang lebih baik.


21112009 23.01 WITA

Senin, 16 November 2009

Nge-BLOG dengan ‘hati’

Hmm.. terdengar seperti judul bukunya Ndoro Kakung ya?
Yupz.. Tulisan ini memang ditulis berdasarkan buku beliau - entah apa bisa disebut review. Yang jelas saya hanya ingin membahas judul di atas dengan sedikit membahas isi buku Ndoro Kakung dan tentu saja membahas kalimat tersebut di atas berdasarkan sudut pandang saya.

Nge-BLOG dengan hati, adalah judul yang dipilih.
Mengapa bukan berjudul Nge-BLOG dengan mudah? Bukankah akan lebih menarik? Karena tak bisa dipungkiri, banyak orang menyukai sesuatu yang berbau ‘mudah dan instan’.
Kalau mau ‘mudah’ bikin blog sih gampang banget. Tinggal bikin blog di penyedia hosting gratisan macam blogger dan wordpress, lalu copy tulisan orang lain, paste di blog kita, selesai. Blog kita akan selalu penuh dengan postingan.
Tapi, bukan itu yang diinginkan buku ini. Buku ini lebih menginginkan sebuah semangat, sebuah isme yang biasa kita kenal dengan blogisme. Blogisme adalah semangat untuk berbagi, menularkan dorongan untuk berekspresi baik melalui tulisan, foto, maupun video – melalui blog. 

Lalu muncul pertanyaan, apakah setiap orang harus mempunyai blog?
Jawabannya, tentu saja tidak. Karena tanpa blog pun, orang tetap bisa hidup dan tak akan mati hanya karena ia tak punya blog.
Tapi…
Ada tapinya nih…
Orang seperti saya (dan mungkin kamu) yang senang berkomunikasi dan senang berbagi, sepertinya wajib untuk punya blog.
Bagi saya, minimal saya harus punya facebook yang saya manfaatkan untuk mengapresiasikan berbagai bentuk postingan (entah itu cerita pengalaman pribadi ataupun cerita fiksi) yang dibuat berdasarkan hasil pemikiran saya sendiri. Dan tak jarang, postingan yang saya buat adalah berdasarkan apa yang saya rasa pada saat itu. Jadi kurang lebih seperti curhat gitu. He.. Lumayan lah, bisa bikin hati agak lega. :D
Namun yang paling membahagiakan adalah di saat postingan kita bisa membuat orang lain menemukan hal yang baru, membuat berpikir, dan memberikan inspirasi bagi orang lain. Dan akan lebih terasa senang lagi apabila postingan kita mendapat respond (comment) dari orang lain.
Terserahlah apabila sampai ada orang yang menyebut bahwa saya orang yang ‘gila comment’ (terus terang, emang beneran ada lho teman saya yang bilang saya gitu. Sempat sedih, tapi cuekin aja.. :p).
Menurut saya, saya tidak bisa dibilang ‘gila’. Protes keras!!! Masa manis-manis gini dibilang ‘gila’?? (he.. narsis… biarin..).
Karena saya hanya menyenangi saja. Menyenangi comment-comment itu karena dengan comment-comment itu saya merasa berdialog, berkomunikasi, dan berbagi dengan orang lain. Membuat saya bisa membuka pikiran, menilai penilaian orang lain, dan lain sebagainya.
Dengan nge-blog, membuat saya merasa ide-ide saya bisa tersalurkan. Dan terus terang membuat saya ketagihan pada proses berpikirnya.

Dimulai dari mendapat ide atau yang sering saya sebut dengan ilham (benar-benar senang kalau ketemu dengan namanya ilham, cuz ilham seneng banget jalan-jalan entah kemana, hehehe..), dilanjutkan dengan proses menulisnya.
Menulis adalah bagian yang terberat, karena bagus tidak nya postingan kita sangat tergantung dari cara kita menulis. Dan untuk itu saya masih harus banyak belajar. Belajar menulis yang baik sehingga tulisan saya mudah dipahami dan menarik untuk dibaca. Sehingga tak jarang, saya memerlukan waktu berhari-hari hanya untuk menghasilkan sebuah tulisan.
Ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu. Yang pertama adalah karena saya tidak terlahir dengan bakat pandai menulis, jadi saya harus berusaha ekstra keras untuk bisa menulis seperti orang yang memang sudah dianugerahi bakat pandai menulis sejak lahir. Yang kedua adalah, karena saya orang yang moody. Mood saya kayanya kembar dempet sama si ilham, senang jalan-jalan, jadi kadang hilang kadang ada, hehehe.. Dan yang terakhir, adalah karena saya orang yang sedikit perfeksionis. Jadi selalu saja ada proses edit sebelum sebuah tulisan berhasil saya posting (tapi terkadang ada juga tulisan yang udah ga sempat diedit, langsung posting alias publish. Itu tandanya saya udah ga bisa mikir lagi, alias mentok, hahahaha…).
Lalu lanjut lagi ke tahap publish. Setelah publish, maka saya akan disibukkan dengan tag sana-sini, lalu bermunculanlah comment-comment segar. Kadang ada yang lucu, ngaco, membuat berpikir, mengkritik tajam atau halus. Dan tak jarang comment-comment nya malah ga berhubungan dengan isi postingan, jadi kaya ngerumpi gitu (khas 3N, hahaha…. :D)

Tapi sekali lagi saya tegaskan bahwa saya menikmati prosesnya. Dimulai dari memetik ide di udara sampai dengan publish di halaman blog yang berujung pada komunikasi via comment. Ada kepuasan tersendiri yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Kembali ke buku Nge-BLOG dengan hati nya Ndoro Kakung. Beliau benar-benar berhasil membahas semua dunia per-blog-an dengan sangat gamblang agar semangat blogisme itu terus terpacu dan menular ke banyak orang. Buku yang sangat bagus. Mengajarkan kita bagaimana bikin postingan yang nendang, tidak cepat bosan pada saat nge-blog, membahas etika dan hukum yang harus dipatuhi para blogger, bahkan ada juga pembahasan agar blog kita bisa menghasilkan keuntungan berupa uang (tapi ini hanyalah dampak, bukan sesuatu yang utama).

Dan saya yakin sekali, di antara kalian pasti ada yang merasakan semangat yang sama. Semangat ingin berbagi dan semangat senang berkomunikasi. Lalu, tunggu apa lagi? Mari kita nge-BLOG dengan HATI. ^_^