Sabtu, 31 Oktober 2009

The Butterfly Effect

Category:Movies
Genre: Mystery & Suspense
Pernah kah kalian tau tentang sebuah fenomena pengetahuan yang cukup mencengangkan? Tentang seseorang yang berhasil melintasi waktu dengan menggunakan mesin waktu (hmmm… terdengar seperti nama salah satu alatnya Doraemon ya? Hehehehe…)
Seseorang yang bernama John Titor.
Dikabarkan bahwa John Titor adalah seorang tentara Amerika yang berasal dari tahun 2036 yang kembali ke tahun 1975 dengan menggunakan mesin waktu yang dibuat dengan sistem layaknya black hole, untuk mengambil komputer kuno milik kakeknya (IBM 5100), karena di masanya (2036), komputer UNIX mengalami masalah dan hanya IBM 5100 yang dapat mengatasinya. Dalam perjalanan nya kembali ke masa lalu, ia juga menyempatkan diri untuk memperingatkan orang tuanya yang berada di tahun 2001, mengenai bahaya-bahaya di masa depan. Pada saat itulah John muncul di forum. 21 Maret 2001 John pamit pulang ke masanya, dan sejak itu ia tak pernah muncul lagi di forum. Banyak sekali kabar yang beredar mengenai John Titor ini, baik di mbah google maupun di youtube. Informasi di atas pun saya dapat dari hasil surfing di google.
Terlepas dari benar atau tidaknya kabar tersebut (terus terang saya termasuk yang skeptis dengan fenomena tersebut), saya jadi teringat dengan sebuah film tentang seseorang yang mempunyai kemampuan kembali ke masa lalu.

Film di tahun 2004 yang berjudul The Butterfly Effect. Disutradarai dan ditulis oleh Eric Bress dan J. Mackye Gruber. Dibintangi oleh aktor tampan sekaligus suami aktris senior Demi Moore – Ashton Kutcher.
Film tentang seseorang bernama Evan Treborn (Ashton Kutcher) yang menderita karena beberapa trauma yang dialaminya sewaktu ia masih kecil dan remaja. Untuk menghilangkan trauma tersebut, ibunya menyuruh Evan melakukan semacam theraphy yaitu dengan menyuruh Evan menulis jurnal setiap kali Evan merasa dirinya tidak bahagia. Kebiasaan yang dibawa sejak kecil itu, menghasilkan sebuah jurnal yang ternyata bisa membuat Evan kembali ke masa lalunya.
Hanya dengan membaca jurnal yang pernah ia tulis, membayangkan penderitaan dan stress yang ia alami ketika itu, maka Evan pun bisa kembali ke masa lalu nya. Dan dengan kembalinya Evan ke masa lalu nya, menyebabkan ia bisa mengubah beberapa bagian dari masa lalunya. Tapi setiap perubahan yang ia buat akan menghasilkan konsekuensi yang berbeda pula. Mengubah masa lalu belum tentu membuat masa yang akan datang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Selalu saja seperti itu.
Tapi Evan tak pernah berhenti berusaha. Berulang kali ia kembali ke masa lalu nya, mengubah kejadian di sana-sini, demi bisa mendapatkan masa yang akan datang yang lebih baik buatnya dan orang-orang di sekelilingnya.
Berhasilkah Evan? Tonton sendiri aja ya, bagi yang belum nonton. Bagi yang udah, jangan diceritain terusannya ke yang belum pernah nonton, biar mereka nonton sendiri aja. Hehehe…

The butterfly effect sendiri adalah sebuah teori yang merujuk pada pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil dapat menghasilkan badai tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Fenomena yang dikenal sebagai sistem ketergantungan yang sangat peka terhadap kondisi awal. Sedikit saja perubahan pada kondisi awal, maka dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem jangka panjang.
Bingung?? Hmmm.. saya juga pada awalnya agak sedikit bingung. Apalagi pada kalimat ‘bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil dapat menghasilkan badai tornado di Texas beberapa bulan kemudian.’
Tapi setelah ditelaah lagi, sepertinya hal tersebut sangat masuk akal. Intinya adalah hubungan sebab akibat. Tanpa kita sadari, bahwa semua yang terjadi di dunia ini sebenarnya terjadi karena adanya hubungan sebab akibat. Apabila faktor ‘sebab’ dapat kita ubah sedikit saja, maka hasil ‘akibatnya’ pasti akan berbeda pula. Kira-kira sih demikian menurut hemat saya yang nilai fisikanya pas-pasan, hehehe….

So, ditonton ya film The Butterfly Effectnya, siapa tau dapat memberikan ‘akibat’ yang positif untukmu. ^^

Setan Angka

Category:Books
Genre: Entertainment
Author:Hans Magnus Enzensberger
Buku ini sama sekali bukan buku baru. Tapi buku ini baru aja dikembalikan teman saya setelah sekian lama dipinjam dan dipendam di rumahnya, hehehe... Sempat kaget juga, ternyata buku yang selama ini saya cari-cari ada di tempat dia. Hihihi.. Salah siapa ya?? Salah saya atau salah dia? Hmmm. Entahlah... :D

Tapi pas dia balikin buku ini, saya pun tersadar, bahwa ini adalah sebuah buku yang bagus banget untuk direview. Agar kalian yang belum pernah membaca buku ini, bisa tau bahwa ada sebuah buku berjudul ’Setan Angka’ Karya Hans Magnus Enzensberger.

Hmm... Entah apa yang ada di pikiran kalian ketika mendengar judul buku tersebut.

Kalau saya sih, waktu pertama kali memegang buku ini dan membaca judulnya ”Setan Angka – sebuah petualangan matematika’, maka yang pertama ada di pikiran saya adalah, buku ini pasti buku yang menarik. Karena jujur saja saya sudah mencintai matematika sejak saya kecil, bahkan mungkin sejak sebelum saya masuk Taman Kanak-Kanak. Senang aja nulis angka dari 1 s.d 10. Hehehe...
Lalu ketertarikan saya terhadap buku ini semakin bertambah-tambah setelah saya baca sedikit review di bagian belakang covernya.
”Inilah buku untuk semua kalangan pembaca–yang ketakutan terhadap matematika maupun yang terpesona olehnya–karya salah seorang penulis andal yang mengerahkan seluruh pesona dan kemungkinannya guna memperlihatkan apa yang bisa dilakukan malaikat kecil angka.”
Hmmm.. Menarik bukan??

Dan untuk membuatnya lebih menarik, Enzensberger mengemas tulisannya menyerupai dongeng Alice in Wonderland. Tetapi yang dikisahkan di sini adalah Robert–bocah dua belas tahun–yang membenci guru matematikanya, yang membuatnya kesal dengan soal cerita matematika dan tidak mengizinkannya menggunakan kalkulator. Lalu di dalam mimpinya ia bertemu Setan Angka yang kemudian membawanya berkelana di dunia yang hampir menyerupai Wonderland nya Alice. Terkadang Robert menjadi bocah seukuran jari, dan tak jarang pula ia menjadi berukuran raksasa.
Sambil berpetulang inilah, Setan Angka menunjukkan padanya apa sesungguhnya matematika itu; nol dan satu, rangkaian tak terhingga dan bilangan irasional, bilangan prima dan probabilitas.
Maka secara tidak langsung kita akan menemukan rahasia-rahasia mencengangkan tentang matematika tanpa perlu mengutak-atik satu pun soal matematika.

Dari semua malam-malam yang dilalui Robert bersama Setan Angka di dalam mimpinya, saya sangat menyukai mimpinya di malam keenam (walaupun jujur, saya suka semua mimpi-mimpinya, karena masing-masingnya punya cerita yang berbeda-beda tentang matematika).
Mimpi di malam keenam itu bercerita tentang angka Bonacci. Tau kah kalian apa itu angka Bonacci? Kalau kalian belum tau, maka kalian harus membaca buku ini, hehehe... Dan ternyata, alam berperilaku seakan-akan memahami cara kerja angka Bonacci lho...

Buku dengan tebal 272 halaman ini adalah buku terlaris di Italia dan Spanyol, dan terjual lebih dari 130.000 eksemplar di Jerman. Fakta ini cukup menjadikannya sebagai jaminan, bahwa buku ini layak baca bahkan layak dikoleksi. Bagaimana? Tertarik? Kalau saya sih sekarang malah tertarik untuk membacanya untuk kali kesekian. Hahaha...

So, review nya sampai di sini aja ya. Saya mau baca bukunya lagi nih. Hehehe..

Rabu, 14 Oktober 2009

Gelembung Sabun

Gelembung sabun – Indah. Mudah mengudara namun mudah pula untuk pecah, hilang tanpa bekas…

Seperti itu kah kisahmu?? Seperti gelembung sabun. Indah. Mudah mengudara namun mudah pula untuk pecah lalu hilang tanpa bekas, terlupakan sama sekali.
Tapi kisah ini berbeda… Kisah yang tak kan mudah dilupakan penduduk suatu kota di salah satu negeri terindah di benua utara. Kisah persaudaraan sesungguhnya…

Hari itu, Rabu, 3 April ratusan tahun silam. Hari yang aneh di awal musim semi, di salah satu negeri terindah di benua utara. Rumput-rumput mulai menghijau, dan bunga-bunga mulai bermekaran dengan warna cemerlangnya. Sungguh pemandangan yang sangat indah, tapi sepertinya penduduk kota itu tidak ada yang menyadari hal tersebut. Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga untuk urusan memperhatikan pemandangan kota yang tampak indah pun, mereka sudah tak sempat lagi.
Semua penduduk benar-benar sibuk dengan urusannya masing-masing, tidak terkecuali dua bersaudara Hans dan Jack. Umur mereka yang hanya berjarak satu tahun, menjadikan mereka tampak seumuran, walaupun sebenarnya Hans adalah kakak kandung Jack. Wajah merekapun terbilang cukup mirip, seperti kembar saja. Perbedaan yang tampak mencolok dari mereka berdua, hanya terletak pada tongkat kaki Hans. Tongkat yang dipakainya sejak 5 tahun silam dikarenakan oleh sebuah kejadian.
Hans dan Jack adalah yatim piatu. Orang tua mereka meninggal ketika mereka masih sangat kecil. Ayah mereka meninggal ketika berlayar, sedangkan ibu mereka tak lama menyusul sang ayah karena terus-terusan memikirkan belahan jiwa nya yang telah pergi untuk selamanya. Memang benar kata pujangga-pujangga itu. Cinta yang terlalu kuat mengakar akan menuntut kematianmu, ketika yang kau cintai itu lebih dahulu mati.

***************************

Hari itu, 3 April adalah hari besar mereka. Karena hari itu merupakan hari penentuan: terwujud atau tertundanya mimpi Jack. Bahkan ada kemungkinan mimpi itu akan gagal sama sekali, terkubur untuk minta dilupakan selamanya… Mimpi itu, mimpi yang sudah tertanam kuat dalam otak dan asa Jack, jauh sebelum ia mengenal mimpi-mimpinya yang lain. Mimpi Jack yang juga merupakan mimpi Hans, karena bagi Hans, mimpi apapun itu, apabila itu adalah mimpi Jack, maka ia harus bisa mewujudkannya. Itu janji nya pada dirinya sendiri, sejak ia menjadi pengganti orang tua bagi Jack.

Hari itu Jack akan mengikuti lomba melukis yang diadakan oleh Gubernur kota setempat. Seperti tahun-tahun sebelumnya, lomba melukis itu selalu diadakan di Taman Kota. Pesertanya berjumlah puluhan. Hadiah utamanya memang sangat layak untuk diperebutkan. 10 juta Galleon.
Kali itu adalah kali pertama Jack mengikuti lomba lukis. Walaupun lomba itu sudah diadakan sejak tahun-tahun dulu, tapi baru kali ini ia bisa ikut, karena untuk mengikuti lomba itu, peralatan lukis harus disediakan oleh masing-masing peserta. Untuk itu, Hans dan Jack harus bekerja sangat keras demi bisa membeli kanvas dan satu paket cat minyak. Bekerja sangat keras untuk bisa menjual gelembung sabun lebih banyak lagi. Selama ini memang dengan cara itulah mereka bisa mendapatkan uang untuk hidup dan menabung sedikit-sedikit untuk membeli peralatan lukis Jack. Menjual gelembung sabun tepat di Taman Kota tersebut.

Jack memang sangat gemar melukis. Dan karena tak mampu membeli alat lukis, Jack pun melukis di atas kertas hanya dengan menggunakan pensil. Jadi selama ini lukisan Jack hanya berwarnakan hitam dan putih. Sungguh sangat membosankan, tanpa warna-warni warna. Tapi entah kenapa, walaupun lukisan itu hanya berwarnakan hitam dan putih, lukisan Jack selalu tampak hidup. Mungkin itu adalah bakat yang diberikan Tuhan. Tapi Hans lebih suka menganggap bahwa hal itu lebih dikarenakan Jack selalu melukis dengan hati. Sebagian orang mungkin akan dengan sangat mudah menuangkan isi hatinya dengan menceritakannya langsung atau mungkin dengan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Tapi bagi Jack, ia lebih senang menuangkan apa yang ia lihat dan rasakan melalui sebuah lukisan.

************************************

Tepat pukul 10.00, perlombaan pun dimulai. Semua peserta mengambil bagian nya masing-masing yang sudah ditentukan oleh panitia. Jack melukis dengan sangat serius. Hans hanya bisa mendoakannya dari sisi Taman Kota. Hans benar-benar tidak tahu apa yang akan dilukis Jack saat itu, karena Jack memang sengaja merahasiakannya dan meminta kakaknya untuk sedikit bersabar. Jack ingin lukisan itu bisa diketahui dan dilihat kakaknya tepat pada saat ia nanti mengumpulkan lukisannya. Cuma itu. Dan untuk itu Hans tidak berkeberatan sama sekali. Ia yakin adiknya punya alasan tersendiri.

Satu jam, adalah waktu yang diberikan untuk menyelesaikan lukisan itu. Satu jam yang berarti banyak, berarti segalanya, berarti sebanding dengan seluruh masa hidup yang pernah Jack lalui. Karena di satu jam ini lah, semua nya dipertaruhkan. Sungguh tak mudah melalui satu jam itu. Tidak bagi Jack, tidak pula untuk Hans.

Jack memang pandai melukis, tapi apakah ia pandai menggunakan cat minyak berwarna-warni untuk melukis? Bukankah selama ini ia selalu menggambar hitam putih dengan pensil bututnya? Selalu saja pikiran itu yang menghantui otak Hans dalam waktu satu jam itu. Tapi ia tetap mempunyai keyakinan bahwa adiknya bisa melakukan yang terbaik.

Satu jam pun berlalu. Semua peserta diminta untuk mengumpulkan lukisannya. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, semua lukisan akan dipajang untuk dipamerkan. Semua penduduk kota bisa dengan bebas menikmati lukisan-lukisan itu. Hans pun ikut bergabung dengan para penduduk kota, mencoba menikmati lukisan-lukisan yang sudah dipajang di Taman Kota itu. Hans tak tahu sama sekali, manakah yang merupakan hasil karya adik tercintanya. Namun tak sampai sepuluh menit berkeliling di Taman Kota itu, Hans sudah menemukan lukisan yang ia cari. Ia tak mungkin salah. Ia mengenali betul, hanya adiknya lah yang bisa melukis sedahsyat itu. Sebuah lukisan yang membuat Hans hampir tergugu. Selain oleh keindahannya, juga oleh ‘apa’ yang Jack lukis.

Gelembung sabun

Jack melukis banyak sekali gelembung sabun. Penuh warna. Hidup. Seolah-olah kau bisa meraih gelembung sabun itu dengan tanganmu lalu memecahkannya. Di pojok kanan bawah dari lukisan itu, tampak dua siluet remaja laki-laki. Rupanya, mereka lah peniup-peniup gelembung sabun indah itu. Dan Hans tau benar, siluet itu adalah Jack dan dirinya, hanya saja disitu ia masih benar-benar sempurna, tanpa tongkat terselip di ketiaknya. Tak terasa air mata Hans pun menetes. Untuk itu ia sama sekali tak menyadari bahwa di kiri kanan nya telah banyak orang lain yang juga terkagum-kagum dengan lukisan Jack. Lama Hans berdiri di depan lukisan itu. Ia benar-benar lupa pada orang yang telah melukis lukisan yang berhasil membuatnya meneteskan banyak air mata.

Jack yang sedari tadi memperhatikan kakak nya dari kejauhan, kini mulai mendekati kakaknya dan menyentuh bahunya dari belakang. Hans pun berpaling. Ia memeluk Jack. Memuji lukisan nya dan berharap lukisan itulah yang nantinya akan memenangkan perlombaan ini. Jikalau tidakpun, sesungguhnya Hans sudah tidak perduli lagi. Sungguh ia tidak perduli lagi. Ia sudah merasa ini semua cukup baginya.

Satu jam berlalu lagi. Penilaian panitia sudah mencapai kata final. Sang Gubernur pun berdiri di atas panggung yang memang sengaja dibangun di bagian utara Taman Kota. Dengan sedikit berteriak, ia pun mengumumkan pemenang lomba lukis tahun itu.
“Pemenang lomba lukis tahunan untuk tahun ini adalah Mr. Jack Sparlow dengan judul lukisannya ‘The Immortal Bubble – Gelembung Sabun Abadi’. Kepada Mr. Jack Sparlow kami persilakan untuk maju ke depan untuk menerima hadiah 10 juta Galleon”.
Seluruh penonton yang mendengar pengumuman itu bertepuk tangan dengan gemuruh. Jack pun maju dan naik ke atas panggung. Setelah menerima uang sebesar 10 juta Galleon, Jack pun dipersilakan berbicara menyampaikan sepatah dua patah kata. Dengan suara sedikit bergetar, Jack pun mulai bicara. Di atas panggung itu ia menyampaikan alasan mengapa ia memilih Gelembung Sabun sebagai tema lukisan yang ia lukis. Jack pun sedikit bercerita.

"Aku adalah orang paling beruntung sedunia. Sungguh. Mungkin kalian pikir aku miskin dan tidak punya apa-apa. Sesungguhnya aku punya segalanya. Aku punya kakak terbaik sedunia. Dan aku bahagia.
Dulu sekali, aku dan kakakku sering berlari sambil meniupkan gelembung sabun kami. Berharap gelembung-gelembung itu bisa terbang setinggi-tingginya. Terbang ke langit yang paling tinggi, lalu tersampaikan kepada orang tua kami yang telah lama pergi meninggalkan kami. Berharap mereka tahu, bahwa anak-anak mereka ada disini, mencintai mereka dari kejauhan. Tapi seperti yang kau tahu, gelembung-gelembung sabun itu cepat sekali pecahnya. Tapi hal itu tak kunjung membuat kami berhenti meniupnya. Kami terus saja meniupnya dan terus berharap gelembung itu bisa terbang lebih tinggi lagi.
Lalu pada suatu hari, kebiasaan indah itu terenggut oleh karena perbuatanku sendiri.
Kakakku, yang mencintaiku bahkan melebihi cintanya pada dirinya sendiri pada hari itu telah benar-benar mengorbankan dirinya untukku.
Hari itu, merupakan hari yang akan ku ingat sepanjang hidupku.
Sore itu, karena kelaparan, aku melakukan hal yang belum pernah kulakukan seumur hidupku, dan aku berjanji tak akan pernah aku melakukannya lagi meskipun akhirnya aku benar-benar mati oleh kelaparan itu sendiri.
Sore itu, aku mencuri roti dari sebuah toko roti. Roti hangat yang baru keluar dari tempat pemanggangan itu benar-benar membuatku tak mampu berpikir jernih. Membutakan segalanya. Yang aku tahu, bahwa aku sangat ingin roti itu dan aku harus mendapatkannya dengan cara apapun. Akupun mencurinya. Aku berlari keluar dari toko itu dengan membawa setangkup besar roti yang bisa dipegang oleh kedua tanganku, sambil dikejar pemilik toko dan dua orang pekerjanya. Masing-masing membawa kayu besar yang biasa mereka pergunakan untuk menggilas adonan roti.
Kakak ku yang mengetahui perbuatanku, berusaha menolongku. Entah bagaimana caranya, ia sudah berada di depan ketiga orang itu, berpura-pura menjadi aku. Karena kemiripan wajah kami, ketiga orang yang kalap itu pun tanpa pikir panjang langsung menghajar kakakku dengan kayu-kayu itu. Kakakku penuh luka dan lebam akibat dosaku. Dan luka yang paling parah yang diterima kakakku adalah kakinya. Kaki yang pada akhirnya tidak bisa lagi dipakai untuk berjalan secara normal.
Sejak hari itu aku betul-betul menyesal, meskipun kakakku selalu berkata bahwa ia tak pernah menyesal dengan mengorbankan kaki nya untukku.
Teruntuk kakakku tercinta, Hans Sparlow, aku persembahkan lukisan ini hanya untukmu. Berharap aku bisa mengembalikan masa-masa itu. Masa dimana kita bisa berlari bersama sambil meniup gelembung sabun harapan kita. Berharap gelembung sabun di lukisan itu akan abadi, tidak akan pecah seperti gelembung-gelembung sabun kita yang pernah kita tiup. Berharap cinta kita akan abadi seperti cinta kita pada orang tua kita."

Hari itu, seluruh penduduk kota ikut larut. Kisah itu benar-benar membekas. Sungguh indah dan tak mudah pecah lalu terlupakan seperti hal nya gelembung sabun. Kisah itu menjadi semacam kisah yang terus dikisahkan dari generasi ke generasi. Kisah Jack dan Hans – Gelembung Sabun Abadi.

Sabtu, 10 Oktober 2009

Pak Dokter - Kemana jiwa 'Dokter' mu??

Malam tadi, tepatnya tengah malam, saya menyalakan tv untuk sekedar mencari program tv yang mungkin bisa menjadi tontonan pengantar tidur. Karena, jujur saja, sampai jam 01.00 pagi td saya masih benar-benar terjaga. Akhirnya pilihan saya jatuh pada channel No 4 di urutan progam TV saya. Stasiun TV nya sedang berbaik hati memutarkan drama asia (drama asia kan salah satu tontonan favorit saya), namun serial drama asia kali ini bukan yang terfavorit sih. Yang diputar adalah The Hospital, yang dibintangi Jerry Yan dan artis ibukota Agnes Monica.
Ceritanya cukup datar, bercerita tentang seputar rumah sakit dan orang-orang di dalamnya (pasien, dokter, perawat, dll).
Lalu ada satu adegan yang sangat mempengaruhi saya. Adegan di mana para dokter berkumpul di sebuah tempat hiburan malam. Mereka saling berbagi cerita tentang pekerjaan mereka. Lalu salah satu dokter senior bercerita bahwa ia akan mengoperasi seorang anak pejabat setempat. Dan dengan sambil tertawa-tawa dokter itu mengatakan akan meminta bayaran yang sangat tinggi kepada pejabat tersebut.
Dalam hati saya lalu bertanya, apakah semua Dokter seperti itu?? Mencari sebanyak-banyaknya uang lalu mengindahkan jiwa penolong yang seharusnya dimilikinya. Bukan kah dokter adalah penyembuh? Menyembuhkan adalah yang utama.
Saya sebenarnya mengetahui dengan persis bahwa Dokter pun hanya seorang manusia biasa yang juga membutuhkan segala kebutuhan hidup yang tentu saja berdampak pada perlunya ia akan uang. Tapi apakah harus dengan cara-cara seperti itu? Dengan cara mengesempingkan pentingnya menyelamatkan nyawa seseorang?

*********************************

Saya jadi teringat, kejadian yang baru-baru ini saya alami. Berawal dari teman saya yang minta ditemani untuk berobat ke seorang Dokter yang telah ditunjuk oleh J*******K sebagai Dokter perusahaan kami. Saya pikir, tidak ada ruginya sama sekali menolong teman saya itu. Sambil menyelam minum air, begitu pikir saya. Sambil menemaninya, saya juga ingin tahu Dokter yang bakal mengurusi masalah kesehatan saya nantinya.
Karena terus terang saja selama ini, apabila saya sakit, saya tinggal pergi ke poliklinik PLN (ayah saya bekerja di PLN) yang berada persis di dalam komplek PLN (jadi kalau mau ke sana, tinggal jalan kaki juga nyampe, hehehe), trus ke apotik yang ditunjuk kalau pingin ngambil obat, tanpa pernah harus membayar dan jarang antri juga, karena yang dilayani kan terbatas hanya pada pegawai, istri/suami, dan anak pegawai. Fasilitas kesehatan nya bisa dibilang memuaskan. Dan kalaupun harus ada operasi yang menuntut biaya yang lumayan besar, maka perusahaan akan menggantikannya total. Semua terasa nyaman.
Sampailah saya pada saat dimana saya harus melepaskan segala kenyaman itu, karena saya sudah bekerja yang mengakibatkan saya terlepas dari tanggungan kesehatan perusahaan ayah saya. Bagi saya, sebenarnya itu bukanlah masalah yang besar. Toh, J*******K juga mengurusi masalah kesehatan dengan sangat baik.
Yang sangat saya sayangkan adalah Dokter yang ditunjuk itu tadi. Benar-benar megecewakan.

Sore itu sehabis pulang kerja, kami langsung mendatangi tempat prakteknya. Tampak sunyi sekali tempatnya sampai-sampai saya berpikir ini tempat praktek atau bukan ya?? Hehehe..
Kami pun mulai melihat sekeliling, mencoba mencari informasi, kira-kira dokter ini buka prakteknya jam berapa. Ternyata di bawah baliho papan nama beliau, ada tulisan yang mencantumkan, buka dari jam 18.00 s.d 20.00. Oh wajar sekali tempat prakteknya belum buka, karena kami tiba di sana pukul 17.30. Kami pun mencoba mengisi waktu dengan makan bakso di tempat favorit, kebetulan tempat baksonya berada cukup dekat dengan tempat praktek dokter itu tadi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 lewat, kami pun kembali ke tempat dokter itu tadi. Ternyata tempat praktek nya masih tutup. Sunyi.
Kami masih mencoba bertahan sampai magrib (untung saya sedang dlm kondisi tdk boleh shalat, jadi tak masalah lah pikir saya). Ternyata sampai jam tujuh lewat, tempat prakteknya belum buka sama sekali. Tak bisa dibohongi, kalau hati saya dongkol sekali. Capek pulang kerja, belum mandi pula, di gigitin nyamuk, waduhhhh.. pokoknya menyebalkan.
Lalu tiba-tiba muncul seorang bapak yang ternyata pemegang kunci tempat praktek itu, beliaupun mulai membuka tempat prakteknya, apotiknya, dan laboratoriumnya (saya baru sadar ternyata disitu ada lab nya juga, lmyn lengkap walaupun kondisinya agak mengenaskan).
Dari bapak itu saya peroleh keterangan bahwa Dokter nya biasa datang sebelum Isya. Wew, sekitar jam 8an dunk…
Kami tetap mencoba bersabar, walaupun hati ini sebal minta ampyun… Dan sempat terpikir, bagaimana kalau ada yang dalam kondisi kritis atau mau melahirkan di jam seperti itu. Dokternya belum datang sama sekali. Mungkin si pasien bisa terlanjur mati kali ya… Hmmm, jangan sampai deh.

Sekitar jam 7an lewat (habis magrib) banyak pasien yang mulai berdatangan. Hmmm ternyata banyak juga orang yang berobat di dokter ini, berarti kualitas nya bagus, begitu pikir saya lagi.
Terus saya iseng bicara dengan salah satu pasien yang kebetulan duduk disamping saya. Saya tanya dia sakit apa, sudah berapa kali berobat di situ, dan bagaimana hasilnya. Terus ibu itu bilang kalau dia sakit maag dan dia sudah berobat 2 kali (termasuk kali itu). Hasilnya lumayan bagus, maag nya sudah agak berkurang. Dan dia menyebutkan kalau untuk sekedar periksa saja dia dimintai biaya Rp. 40.000,- belum obatnya. Obatnya ditebus dengan biaya Rp. 300.0000,-an. Waw… Mencengangkan!!!
Karena seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, bahwa selama ini saya tidak pernah mengeluarkan biaya hanya untuk berobat. Jadi ketika mendengar hal itu (mendengar hal yang mungkin wajar bagi orang tapi tidak bagi saya), saya menjadi sedikit shock.

Pukul 8 lewat ternyata dokternya baru datang dengan menaiki mobil yang keren sekali, Toyota Fortuner. Santai banget dokternya masuk ke ruangan nya, padahal saya sudah mau marah-marah. Kenapa dia baru datang? Ga konsisten sama jam praktek yang dia tulis di baliho nya. Tapi niat itu saya urungkan, cuz saya malu, kan banyak orang disitu.

Sampailah saat dimana teman saya mendapat giliran untuk diperiksa. Setelah selesai diperiksa, saya pun mulai menanyai teman saya. Bagaimana dia diperiksa dan disuruh bayar atau ga, karena setau saya, kami tidak perlu membayar lagi karena sudah ikut layanan J*******K.
Ternyata memang tidak bayar sama sekali dan waktu menebus obatnya pun juga tidak bayar sama sekali alias free (itulah guna nya gaji yg dipotong selama ini, hahahaha…).
Tapi yang sekali lagi membuat kecewa adalah pelayanan nya (lagi dan lagi).
Kata temanku, waktu dia di ruangan dokternya, dia cuma diperiksa ala kadarnya (pakai stetoskop, disuruh tarik nafas, nafasnya belum dibuang stetoskopnya sudah dipindah-pindah, kaya pura-pura meriksa gitu) dan ditanya sedikit-sedikit (sakit apa mbak?? Nah lo?? Kita kan ke dokter mau tau sakit kita apa. Koq malah ditanyain, ‘Sakitnya apa??’).
Pak Dokter oh Pak Dokter… Kemana jiwa ‘Dokter’ mu??


Nilai moralnya bagi saya:
Saya baru sadar bahwa selama ini saya termasuk orang yang beruntung dan untuk itu saya sangat bersyukur karena selama ini saya sangat dimudahkan untuk berobat, tidak seperti orang-orang itu yang harus antri lalu harus membayar dengan sangat mahalnya hanya untuk memeriksa kesehatan, belum lagi untuk biaya berobat nya. Ternyata kesehatan itu mahal sekali harganya.

Nilai moralnya bagi Pak Dokter:
Hmmm.. apa ya?? Berharap tidak semua Dokter seperti beliau di atas. Toh mereka-mereka itu (pasien) membayar atas semua pelayananmu. Berharap pelayananmu akan menjadi lebih baik, tepat waktu (kalau memang bukan jam 18.00 buka prakteknya, lebih baik diganti aja tulisan di balihonya - hehehehe.. masih sedikit dongkol...:D), dsb.
Intinya semoga pelayanan kesehatan di mana saja di seluruh Indonesia ini menjadi lebih baik... :)