Listrik.
Apa yang ada di benak kalian ketika saya sebutkan kata itu?
Sebagian besar dari kalian mungkin akan menjawab PLN, mati lampu dan byar pett. :)
Hmmm…
tak bisa dipungkiri memang bahwa akhir-akhir ini, topik ‘listrik’
menjadi sesuatu yang kembali hangat dipermasalahkan. Padam lampu
sebentar saja maka akan ada banyak orang yang langsung protes keras
karena merasa tidak puas dengan kinerja PLN, sampai-sampai di antara
mereka ada yang bertindak anarkis terhadap pekerja PLN – hal yang
sesungguhnya sangat disayangkan mengingat kita adalah manusia yang
diberi akal untuk berpikir.
Sebenarnya, adalah sangat wajar bila
terjadi pro dan kontra terhadap suatu masalah, apalagi menyangkut
masalah penting semacam listrik yang penggunaannya memang sangat penting
dalam kehidupan – mungkin setara dengan air bagi kehidupan.
Dan kalau saya ditanya, saya ini termasuk yang pro atau yang kontra? Maka saya jawab, saya termasuk yang menghargai. ^^
Saya
menghargai mereka yang kontra, karena mereka memang memiliki hak untuk
kontra, memiliki hak untuk protes dan menuntut pelayanan yang lebih baik
karena mereka adalah pelanggan. Tapi saya benar-benar tak habis pikir
dengan mereka yang melakukan tindakan anarkis tadi. Ada kejadian di mana
pegawai PLN di hadang, di ikat dan dimasukkan ke comberan karena pada
waktu itu listrik padam. Coba pikir dengan akal sehat yang sudah
diberikan Allah. Apa dengan memasukkan pegawai PLN itu ke dalam comberan
maka listrik akan menyala seketika? Ini kah cermin orang Indonesia yang
berbudi?
Dan listrik padam pun sebenarnya bukan tanpa alasan, bisa
karena persoalan teknis seperti jadwal perawatan secara berkala, atau
terkendala oleh kurangnya dana untuk pembangunan pembangkit dan
peremajaan berbagai peralatan, sampai pada kejadian yang tak terduga
seperti terbakarnya trafo di GITET Cawang Jakarta. Sekali lagi, semua
itu bukan tanpa alasan.
Dan jujur, saya bukan orang yang suka
dengan kontroversi. Dan tujuan catatan ini sama sekali bukan untuk
mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, karena jika ya, mungkin
catatan ini tidak akan pernah ada akhirnya. Oleh karena itu, pembahasan
ini saya cukupkan sampai di sini.
Yang ingin saya tonjolkan di
sini adalah rasa ‘menghargai’. Maka nya, judul itu lah yang saya pilih
sebagai judul catatan kali ini.
Listrik.
Suatu sumber daya yang
tidak seketika bisa dihasilkan begitu saja. Ada proses panjang yang
harus dilalui untuk itu, yang menuntut para pekerjanya bekerja ekstra
keras dengan penuh pengorbanan. Ini lah sesungguhnya yang membuat saya
menghargai sebuah kinerja, sebuah usaha untuk orang banyak.
Ketika
sebuah pembangkit tenaga listrik sudah berdiri, maka diperlukan saluran
transmisi yang akan mengalirkan listrik dari pembangkit ke gardu induk
yang akan membagikannya lagi dalam daya yang lebih kecil agar sesuai
dengan daya untuk perumahan dsb.
Dari pembangunan transmisi ini lah,
saya bisa tau dengan persis perjuangan itu. Di awali dengan pembebasan
tanah tapak tower. Pembebasan tanah di sini maksudnya adalah membeli
tanah dari pemilik tanah yang tanahnya terkena jalur transmisi.
Hanya
untuk membebaskan tanah agar sebuah tower transmisi bisa berdiri, para
pekerjanya harus berhadapan dengan pemilik tanah yang kadang
mempersulit. Di sinilah ironisnya. Di lain pihak menuntut kinerja PLN
agar lebih baik, tapi di pihak lain malah mempersulit. Tapi semua itu
tetap di jalani dengan pendekatan-pendekatan dan sesuai hukum dan tata
cara yang berlaku.
Kemudian sampai pada tahap pembangunan tower itu
sendiri. Tower yang letaknya kadang jauh di dalam hutan, mengharuskan
pekerjanya untuk masuk ke dalam hutan dan melakukan pengawasan
pengecoran yang tak jarang dilakukan sampai tengah malam. Sama sekali
bukan pekerjaan yang gampang.
Ketika semua tower sudah berdiri, ada
lagi yang namanya ROW, semacam kegiatan inventarisasi tanam tumbuh yang
terkena area stringing (penarikan kabel). Tak jarang para pekerja PLN
yang melakukan kegiatan ROW dikejar dengan parang oleh warga, karena
dikira akan mengambil tanah mereka, merusak kebun mereka, dsb. Sekali
lagi ironis – selalu saja dipersulit tapi sebaliknya, menuntut yang
lebih.
Belum lagi bila ada kerusakan di SUTT atau SUTET yang harus
diperbaiki tanpa harus mematikan aliran listrik, agar semua orang tetap
bisa menikmati listrik sementara pekerja PLN melakukan perbaikan atau
perawatan. PDKB (Pekerjaan Dalam Kondisi Beraliran), sungguh bukan
pekerjaan yang mudah karena nyawa lah taruhannya. Bekerja di atas tower
dengan ketinggian 20 – 30 meter dan dalam keadaan listrik mengalir pula.
Benar-benar sebuah dedikasi yang patut dihargai.
Dan itu semua hanya sebagian kecil kerja keras pekerjanya di lapangan yang saya tau.
Masih
ada lagi pekerjaan di balik meja yang juga menuntut dedikasi yang tak
kalah tinggi karena tak jarang para pekerjanya harus lembur bekerja
sampai larut malam, agar kontrak-kontrak untuk membangun semua sarana
dan prasarana kelistrikan itu bisa tercapai tepat waktu, mutu, dan
biaya.
Sekali lagi, intinya adalah bahwa saya sangat menghargai –
tidak ada maksud sama sekali untuk memihak. Karena jujur saja, tidak
ada untungnya sama sekali bagi saya. Pegawai nya saja bukan. Tapi karena
saya mengetahui kerja keras mereka lah, maka saya memutuskan untuk
menghargai. Mudah-mudahan akan ada banyak lagi orang-orang yang mau
menghargai dan tidak akan ada lagi yang berlaku anarkis.
For the
last, cukup matikan 2 buah lampu yang tidak terpakai di rumah anda
(apalagi televisi yang dinyalakan padahal tidak ditonton, dsb). Itu akan
sangat berarti. Berhematlah dengan listrik. Karena listrik untuk
kehidupan yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar