Beberapa hari yang lalu saya didinaskan oleh kantor tempat saya
bekerja untuk membantu tim pembebasan tanah proyek SUTT 150 kV
AA-BL untuk bernegoisasi dengan warga di suatu kecamatan
yang kebetulan dilalui oleh jalur transmisi tersebut. Saya sih cuma
bantu ngetik-ngetik saja bikin berita acara, sementara yang bernegoisasi
adalah Bapak senior di kantor yang memang sudah terbiasa bernegosiasi.
Terus
terang sy senang dengan dinas kali ini karena ini benar-benar merupakan
pengalaman pertama (dan berharga) bagi saya untuk bisa berinteraksi
langsung dengan warga yang tanahnya akan dibangun tapak tower. Tadinya
sy cuma dengar-dengar cerita saja dari teman-teman di kantor bagaimana
susah dan senangnya (tapi kebanyakan susahnya sih :D) dalam bernegoisasi
dengan warga. Kebanyakan dari warga biasanya banyak yang mempersulit
dengan tidak mau menjual tanah mereka. Sebenarnya itu sangat wajar dan
100% merupakan hak mereka, tapi kadang yang membuat sy tak habis pikir
adalah cara mereka menyatakan ketidakmauan mereka saja. Ada yang pake
acara lempar piring di ruang pertemuan bahkan ada yang bawa golok
segala. Hmm.. Sepertinya bukan seperti itu cara mengeluarkan pendapat
yang benar dalam sebuah forum pertemuan. Tapi mau bagaimana lagi?
Seperti itulah kenyataan yang banyak ditemui.
Dan setelah sampai
di hari di mana pertemuan akan berlangsung di kantor kecamatan setempat,
para warga yang tanah nya terkena tapak tower pun sudah berkumpul
lengkap dengan kepala desa dan sekretaris camat (pengganti Camat karena
beliau sedang tidak berada di tempat). Pertemuan pun dibuka dengan
sangat baik oleh SekCam. SekCam nya humoris, jadi suasana tidak terlalu
tegang. Setelah itu barulah Bapak2 dari kantor saya menjelaskan apa itu
jaringan SUTT, dan mengapa jaringan SUTT itu perlu dibangun, yang tentu
saja tak lain dan tak bukan adalah untuk menjaga keandalan listrik yang
berujung meningkatkan pelayanan pada masyarakat terhadap ketersediaan
listrik. Tak hanya sampai di situ, Bapak2 tersebut juga menjelaskan
pembangunan SUTT tersebut dari segi teknis yang berhubungan dengan
safety nya terhadap warga yang nantinya tinggal di sekitar area tower.
Semua
berjalan lancar sampai dengan proses negoisasi dimulai. Yang namanya
negoisasi tentu saja adalah tawar menawar antara pemilik tanah dengan
pembeli. Sebagai pembeli, kami menawar dengan harga A/m2 (sesuai dengan
APBN untuk proyek ini) yang tentu saja secara tidak mengejutkan ditolak
oleh warga. Mereka menginginkan harga B/m2 (dimana B = A + Rp.
190.000,-). Dan dengan bahasa yang diusahakan sehalus mungkin, Bapak2
dari kantor sy menjelaskan bahwa harga B tersebut tidak bisa disetujui,
karena dari APBN nya memang sudah dianggarkan dengan harga A, tak ada
alasan yang bisa membuatnya berubah. Warga kembali mencoba bernegosiasi -
hal yang membuat saya merasa banyak sekali belajar. Di sini lah suatu
forum benar-benar dihormati. Kedua belah pihak saling mengeluarkan
pendapat di kepala mereka masing-masing dan keduanya sama-sama saling
menghargai. Paling-paling hanya satu dua orang saja yang terkadang
protes dengan nada yang agak tinggi, yang di telinga saya lebih
terdengar seperti bercanda. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh
pemimpin rapat (SekCam) yang bagus sekali dalam memimpin forum ini.
Beliau berkali-kali menekankan bahwa, kalau warga mau mengeluarkan
pendapat maka keluarkan saja di forum, semua pendapat akan dihargai.
Sedangkan pendapat yang muncul belakangan di luar forum akan tidak ada
harganya sama sekali.
Maka muncullah harga baru dari warga yaitu
C/m2 (dimana C = B - Rp. 50.000,-). Dan dengan pendekatan yang lebih
baik lagi, kembali Bapak2 dari kantor sy menjelaskan bahwa mereka hanya
bisa memberikan harga A. Kali ini ada penjelasan tambahan dari Bapak2
dari kantor sy. Mereka menceritakan satu kasus, pengalaman dari provinsi
sebelah, di mana semua pihak yang terkait (warga, aparat desa,
kecamatan, dan pegawai BUMN yang bertugas negoisasi) akhirnya dipenjara
karena membeli tanah warga dengan harga yang lebih tinggi dari yang
dianggarkan. Hal ini dicurigai adanya praktik korupsi dengan menjual
tanah melebihi yang dianggarkan di APBN.
Sungguh, sy yakin Bapak2
dari kantor sy bukan bermaksud menakut-nakuti tetapi hanya memberikan
gambaran mengapa mereka sama sekali tidak bisa menaikkan harga dari
harga A. Dan Alhamdulillah, para warga mau berbesar hati menerima angka
A. Dan akhirnya dicapailah kata 'deal' untuk harga jual tanah di
kecamatan tersebut sebesar A.
Maka proses negoisasi pun berlanjut
ke negoisasi harga ganti rugi untuk tanam tumbuh tumbuhan yang tanahnya
nanti akan dibangun tower. Untuk ini Bapak2 dari kantor saya mengacu
pada harga ganti rugi yang dikeluarkan oleh DisBun kabupaten setempat.
Dan kebetulan tanaman yang banyak tumbuh di daerah tersebut adalah
karet. Untuk karet harga ganti ruginya menurut DisBun adalah sebesar
X/pohon. Dan warga kali ini merasa keberatan sekali dengan harga
tersebut. Menurut mereka harga tersebut sangat jauh dari harga yang
pantas. Kebetulan di daerah tersebut juga ada perusahaan yang menambang
batu bara. Dan perusahaan tambang tersebut berani mengganti rugi pohon
karet yang mereka hancurkan sebesar Y/pohon (dimana Y = X +
Rp.525.000,-).
Bapak2 dari kantor saya pun kembali menjelaskan bahwa
mereka tak bisa sembarang menaikkan harga kalau tidak ada dasarnya. Dan
warga tetap pada harga Y tersebut, sehingga untuk harga ganti rugi tanam
tumbuh belum dicapai kata sepakat.
But well.. Ini semua
benar-benar melebihi harapan kami. Tadinya kami pikir kami bakalan harus
negoisasi lagi (dalam waktu yang dekat) apabila kata sepakat dalam
forum tadi tidak dicapai. Tapi kami sungguh bisa tersenyum puas dengan
hasil yang bisa dikatakan 'bagus'. Sepertinya warga di kecamatan itu
paham benar dengan arti membangun fasilitas untuk kebaikan orang banyak.
Sedikit perbedaan pendapat saya kira wajar. Bapak2 dari kantor sy tentu
akan mencarikan jalan keluar yang terbaik.
Dari sini sy belajar
banyak. Belajar tentang bagaimana sebuah proses negoisasi langsung
dengan warga. Belajar tentang bagaimana mendengarkan, mengeluarkan, dan
menghargai pendapat orang lain. Dan yang terakhir, sy benar-benar
menghargai sebuah profesi. Profesi yang dulunya pernah saya remehkan
(mungkin yang saya remehkan adalah orang-orang yang memiliki profesi itu
yang terlanjur memberi cap buruk pada profesi yang sebenarnya menjadi
cita-cita saya). Ternyata tidak semua dari mereka tidak berdedikasi.
Masih banyak dari mereka yang ternyata berkualitas dan sangat
berdedikasi.
Dan Alhamdulillah, perjalanan dinas kali ini berjalan lancar. Banyak pelajaran berharga yg bisa sy dapat. :)
06082010 23.09 WITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar