Sabtu, 10 Oktober 2009

Pak Dokter - Kemana jiwa 'Dokter' mu??

Malam tadi, tepatnya tengah malam, saya menyalakan tv untuk sekedar mencari program tv yang mungkin bisa menjadi tontonan pengantar tidur. Karena, jujur saja, sampai jam 01.00 pagi td saya masih benar-benar terjaga. Akhirnya pilihan saya jatuh pada channel No 4 di urutan progam TV saya. Stasiun TV nya sedang berbaik hati memutarkan drama asia (drama asia kan salah satu tontonan favorit saya), namun serial drama asia kali ini bukan yang terfavorit sih. Yang diputar adalah The Hospital, yang dibintangi Jerry Yan dan artis ibukota Agnes Monica.
Ceritanya cukup datar, bercerita tentang seputar rumah sakit dan orang-orang di dalamnya (pasien, dokter, perawat, dll).
Lalu ada satu adegan yang sangat mempengaruhi saya. Adegan di mana para dokter berkumpul di sebuah tempat hiburan malam. Mereka saling berbagi cerita tentang pekerjaan mereka. Lalu salah satu dokter senior bercerita bahwa ia akan mengoperasi seorang anak pejabat setempat. Dan dengan sambil tertawa-tawa dokter itu mengatakan akan meminta bayaran yang sangat tinggi kepada pejabat tersebut.
Dalam hati saya lalu bertanya, apakah semua Dokter seperti itu?? Mencari sebanyak-banyaknya uang lalu mengindahkan jiwa penolong yang seharusnya dimilikinya. Bukan kah dokter adalah penyembuh? Menyembuhkan adalah yang utama.
Saya sebenarnya mengetahui dengan persis bahwa Dokter pun hanya seorang manusia biasa yang juga membutuhkan segala kebutuhan hidup yang tentu saja berdampak pada perlunya ia akan uang. Tapi apakah harus dengan cara-cara seperti itu? Dengan cara mengesempingkan pentingnya menyelamatkan nyawa seseorang?

*********************************

Saya jadi teringat, kejadian yang baru-baru ini saya alami. Berawal dari teman saya yang minta ditemani untuk berobat ke seorang Dokter yang telah ditunjuk oleh J*******K sebagai Dokter perusahaan kami. Saya pikir, tidak ada ruginya sama sekali menolong teman saya itu. Sambil menyelam minum air, begitu pikir saya. Sambil menemaninya, saya juga ingin tahu Dokter yang bakal mengurusi masalah kesehatan saya nantinya.
Karena terus terang saja selama ini, apabila saya sakit, saya tinggal pergi ke poliklinik PLN (ayah saya bekerja di PLN) yang berada persis di dalam komplek PLN (jadi kalau mau ke sana, tinggal jalan kaki juga nyampe, hehehe), trus ke apotik yang ditunjuk kalau pingin ngambil obat, tanpa pernah harus membayar dan jarang antri juga, karena yang dilayani kan terbatas hanya pada pegawai, istri/suami, dan anak pegawai. Fasilitas kesehatan nya bisa dibilang memuaskan. Dan kalaupun harus ada operasi yang menuntut biaya yang lumayan besar, maka perusahaan akan menggantikannya total. Semua terasa nyaman.
Sampailah saya pada saat dimana saya harus melepaskan segala kenyaman itu, karena saya sudah bekerja yang mengakibatkan saya terlepas dari tanggungan kesehatan perusahaan ayah saya. Bagi saya, sebenarnya itu bukanlah masalah yang besar. Toh, J*******K juga mengurusi masalah kesehatan dengan sangat baik.
Yang sangat saya sayangkan adalah Dokter yang ditunjuk itu tadi. Benar-benar megecewakan.

Sore itu sehabis pulang kerja, kami langsung mendatangi tempat prakteknya. Tampak sunyi sekali tempatnya sampai-sampai saya berpikir ini tempat praktek atau bukan ya?? Hehehe..
Kami pun mulai melihat sekeliling, mencoba mencari informasi, kira-kira dokter ini buka prakteknya jam berapa. Ternyata di bawah baliho papan nama beliau, ada tulisan yang mencantumkan, buka dari jam 18.00 s.d 20.00. Oh wajar sekali tempat prakteknya belum buka, karena kami tiba di sana pukul 17.30. Kami pun mencoba mengisi waktu dengan makan bakso di tempat favorit, kebetulan tempat baksonya berada cukup dekat dengan tempat praktek dokter itu tadi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 lewat, kami pun kembali ke tempat dokter itu tadi. Ternyata tempat praktek nya masih tutup. Sunyi.
Kami masih mencoba bertahan sampai magrib (untung saya sedang dlm kondisi tdk boleh shalat, jadi tak masalah lah pikir saya). Ternyata sampai jam tujuh lewat, tempat prakteknya belum buka sama sekali. Tak bisa dibohongi, kalau hati saya dongkol sekali. Capek pulang kerja, belum mandi pula, di gigitin nyamuk, waduhhhh.. pokoknya menyebalkan.
Lalu tiba-tiba muncul seorang bapak yang ternyata pemegang kunci tempat praktek itu, beliaupun mulai membuka tempat prakteknya, apotiknya, dan laboratoriumnya (saya baru sadar ternyata disitu ada lab nya juga, lmyn lengkap walaupun kondisinya agak mengenaskan).
Dari bapak itu saya peroleh keterangan bahwa Dokter nya biasa datang sebelum Isya. Wew, sekitar jam 8an dunk…
Kami tetap mencoba bersabar, walaupun hati ini sebal minta ampyun… Dan sempat terpikir, bagaimana kalau ada yang dalam kondisi kritis atau mau melahirkan di jam seperti itu. Dokternya belum datang sama sekali. Mungkin si pasien bisa terlanjur mati kali ya… Hmmm, jangan sampai deh.

Sekitar jam 7an lewat (habis magrib) banyak pasien yang mulai berdatangan. Hmmm ternyata banyak juga orang yang berobat di dokter ini, berarti kualitas nya bagus, begitu pikir saya lagi.
Terus saya iseng bicara dengan salah satu pasien yang kebetulan duduk disamping saya. Saya tanya dia sakit apa, sudah berapa kali berobat di situ, dan bagaimana hasilnya. Terus ibu itu bilang kalau dia sakit maag dan dia sudah berobat 2 kali (termasuk kali itu). Hasilnya lumayan bagus, maag nya sudah agak berkurang. Dan dia menyebutkan kalau untuk sekedar periksa saja dia dimintai biaya Rp. 40.000,- belum obatnya. Obatnya ditebus dengan biaya Rp. 300.0000,-an. Waw… Mencengangkan!!!
Karena seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, bahwa selama ini saya tidak pernah mengeluarkan biaya hanya untuk berobat. Jadi ketika mendengar hal itu (mendengar hal yang mungkin wajar bagi orang tapi tidak bagi saya), saya menjadi sedikit shock.

Pukul 8 lewat ternyata dokternya baru datang dengan menaiki mobil yang keren sekali, Toyota Fortuner. Santai banget dokternya masuk ke ruangan nya, padahal saya sudah mau marah-marah. Kenapa dia baru datang? Ga konsisten sama jam praktek yang dia tulis di baliho nya. Tapi niat itu saya urungkan, cuz saya malu, kan banyak orang disitu.

Sampailah saat dimana teman saya mendapat giliran untuk diperiksa. Setelah selesai diperiksa, saya pun mulai menanyai teman saya. Bagaimana dia diperiksa dan disuruh bayar atau ga, karena setau saya, kami tidak perlu membayar lagi karena sudah ikut layanan J*******K.
Ternyata memang tidak bayar sama sekali dan waktu menebus obatnya pun juga tidak bayar sama sekali alias free (itulah guna nya gaji yg dipotong selama ini, hahahaha…).
Tapi yang sekali lagi membuat kecewa adalah pelayanan nya (lagi dan lagi).
Kata temanku, waktu dia di ruangan dokternya, dia cuma diperiksa ala kadarnya (pakai stetoskop, disuruh tarik nafas, nafasnya belum dibuang stetoskopnya sudah dipindah-pindah, kaya pura-pura meriksa gitu) dan ditanya sedikit-sedikit (sakit apa mbak?? Nah lo?? Kita kan ke dokter mau tau sakit kita apa. Koq malah ditanyain, ‘Sakitnya apa??’).
Pak Dokter oh Pak Dokter… Kemana jiwa ‘Dokter’ mu??


Nilai moralnya bagi saya:
Saya baru sadar bahwa selama ini saya termasuk orang yang beruntung dan untuk itu saya sangat bersyukur karena selama ini saya sangat dimudahkan untuk berobat, tidak seperti orang-orang itu yang harus antri lalu harus membayar dengan sangat mahalnya hanya untuk memeriksa kesehatan, belum lagi untuk biaya berobat nya. Ternyata kesehatan itu mahal sekali harganya.

Nilai moralnya bagi Pak Dokter:
Hmmm.. apa ya?? Berharap tidak semua Dokter seperti beliau di atas. Toh mereka-mereka itu (pasien) membayar atas semua pelayananmu. Berharap pelayananmu akan menjadi lebih baik, tepat waktu (kalau memang bukan jam 18.00 buka prakteknya, lebih baik diganti aja tulisan di balihonya - hehehehe.. masih sedikit dongkol...:D), dsb.
Intinya semoga pelayanan kesehatan di mana saja di seluruh Indonesia ini menjadi lebih baik... :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar