Malam tadi, tepatnya tengah malam, saya menyalakan tv untuk
sekedar mencari program tv yang mungkin bisa menjadi tontonan pengantar
tidur. Karena, jujur saja, sampai jam 01.00 pagi td saya masih
benar-benar terjaga. Akhirnya pilihan saya jatuh pada channel No 4 di
urutan progam TV saya. Stasiun TV nya sedang berbaik hati memutarkan
drama asia (drama asia kan salah satu tontonan favorit saya), namun
serial drama asia kali ini bukan yang terfavorit sih. Yang diputar
adalah The Hospital, yang dibintangi Jerry Yan dan artis ibukota Agnes
Monica.
Ceritanya cukup datar, bercerita tentang seputar rumah sakit dan orang-orang di dalamnya (pasien, dokter, perawat, dll).
Lalu
ada satu adegan yang sangat mempengaruhi saya. Adegan di mana para
dokter berkumpul di sebuah tempat hiburan malam. Mereka saling berbagi
cerita tentang pekerjaan mereka. Lalu salah satu dokter senior bercerita
bahwa ia akan mengoperasi seorang anak pejabat setempat. Dan dengan
sambil tertawa-tawa dokter itu mengatakan akan meminta bayaran yang
sangat tinggi kepada pejabat tersebut.
Dalam hati saya lalu bertanya,
apakah semua Dokter seperti itu?? Mencari sebanyak-banyaknya uang lalu
mengindahkan jiwa penolong yang seharusnya dimilikinya. Bukan kah dokter
adalah penyembuh? Menyembuhkan adalah yang utama.
Saya sebenarnya
mengetahui dengan persis bahwa Dokter pun hanya seorang manusia biasa
yang juga membutuhkan segala kebutuhan hidup yang tentu saja berdampak
pada perlunya ia akan uang. Tapi apakah harus dengan cara-cara seperti
itu? Dengan cara mengesempingkan pentingnya menyelamatkan nyawa
seseorang?
*********************************
Saya jadi
teringat, kejadian yang baru-baru ini saya alami. Berawal dari teman
saya yang minta ditemani untuk berobat ke seorang Dokter yang telah
ditunjuk oleh J*******K sebagai Dokter perusahaan kami. Saya pikir,
tidak ada ruginya sama sekali menolong teman saya itu. Sambil menyelam
minum air, begitu pikir saya. Sambil menemaninya, saya juga ingin tahu
Dokter yang bakal mengurusi masalah kesehatan saya nantinya.
Karena
terus terang saja selama ini, apabila saya sakit, saya tinggal pergi ke
poliklinik PLN (ayah saya bekerja di PLN) yang berada persis di dalam
komplek PLN (jadi kalau mau ke sana, tinggal jalan kaki juga nyampe,
hehehe), trus ke apotik yang ditunjuk kalau pingin ngambil obat, tanpa
pernah harus membayar dan jarang antri juga, karena yang dilayani kan
terbatas hanya pada pegawai, istri/suami, dan anak pegawai. Fasilitas
kesehatan nya bisa dibilang memuaskan. Dan kalaupun harus ada operasi
yang menuntut biaya yang lumayan besar, maka perusahaan akan
menggantikannya total. Semua terasa nyaman.
Sampailah saya pada saat
dimana saya harus melepaskan segala kenyaman itu, karena saya sudah
bekerja yang mengakibatkan saya terlepas dari tanggungan kesehatan
perusahaan ayah saya. Bagi saya, sebenarnya itu bukanlah masalah yang
besar. Toh, J*******K juga mengurusi masalah kesehatan dengan sangat
baik.
Yang sangat saya sayangkan adalah Dokter yang ditunjuk itu tadi. Benar-benar megecewakan.
Sore
itu sehabis pulang kerja, kami langsung mendatangi tempat prakteknya.
Tampak sunyi sekali tempatnya sampai-sampai saya berpikir ini tempat
praktek atau bukan ya?? Hehehe..
Kami pun mulai melihat sekeliling,
mencoba mencari informasi, kira-kira dokter ini buka prakteknya jam
berapa. Ternyata di bawah baliho papan nama beliau, ada tulisan yang
mencantumkan, buka dari jam 18.00 s.d 20.00. Oh wajar sekali tempat
prakteknya belum buka, karena kami tiba di sana pukul 17.30. Kami pun
mencoba mengisi waktu dengan makan bakso di tempat favorit, kebetulan
tempat baksonya berada cukup dekat dengan tempat praktek dokter itu
tadi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 lewat, kami pun kembali ke
tempat dokter itu tadi. Ternyata tempat praktek nya masih tutup. Sunyi.
Kami
masih mencoba bertahan sampai magrib (untung saya sedang dlm kondisi
tdk boleh shalat, jadi tak masalah lah pikir saya). Ternyata sampai jam
tujuh lewat, tempat prakteknya belum buka sama sekali. Tak bisa
dibohongi, kalau hati saya dongkol sekali. Capek pulang kerja, belum
mandi pula, di gigitin nyamuk, waduhhhh.. pokoknya menyebalkan.
Lalu
tiba-tiba muncul seorang bapak yang ternyata pemegang kunci tempat
praktek itu, beliaupun mulai membuka tempat prakteknya, apotiknya, dan
laboratoriumnya (saya baru sadar ternyata disitu ada lab nya juga, lmyn
lengkap walaupun kondisinya agak mengenaskan).
Dari bapak itu saya peroleh keterangan bahwa Dokter nya biasa datang sebelum Isya. Wew, sekitar jam 8an dunk…
Kami
tetap mencoba bersabar, walaupun hati ini sebal minta ampyun… Dan
sempat terpikir, bagaimana kalau ada yang dalam kondisi kritis atau mau
melahirkan di jam seperti itu. Dokternya belum datang sama sekali.
Mungkin si pasien bisa terlanjur mati kali ya… Hmmm, jangan sampai deh.
Sekitar
jam 7an lewat (habis magrib) banyak pasien yang mulai berdatangan. Hmmm
ternyata banyak juga orang yang berobat di dokter ini, berarti kualitas
nya bagus, begitu pikir saya lagi.
Terus saya iseng bicara dengan
salah satu pasien yang kebetulan duduk disamping saya. Saya tanya dia
sakit apa, sudah berapa kali berobat di situ, dan bagaimana hasilnya.
Terus ibu itu bilang kalau dia sakit maag dan dia sudah berobat 2 kali
(termasuk kali itu). Hasilnya lumayan bagus, maag nya sudah agak
berkurang. Dan dia menyebutkan kalau untuk sekedar periksa saja dia
dimintai biaya Rp. 40.000,- belum obatnya. Obatnya ditebus dengan biaya
Rp. 300.0000,-an. Waw… Mencengangkan!!!
Karena seperti yang sudah
saya bilang sebelumnya, bahwa selama ini saya tidak pernah mengeluarkan
biaya hanya untuk berobat. Jadi ketika mendengar hal itu (mendengar hal
yang mungkin wajar bagi orang tapi tidak bagi saya), saya menjadi
sedikit shock.
Pukul 8 lewat ternyata dokternya baru datang
dengan menaiki mobil yang keren sekali, Toyota Fortuner. Santai banget
dokternya masuk ke ruangan nya, padahal saya sudah mau marah-marah.
Kenapa dia baru datang? Ga konsisten sama jam praktek yang dia tulis di
baliho nya. Tapi niat itu saya urungkan, cuz saya malu, kan banyak orang
disitu.
Sampailah saat dimana teman saya mendapat giliran untuk
diperiksa. Setelah selesai diperiksa, saya pun mulai menanyai teman
saya. Bagaimana dia diperiksa dan disuruh bayar atau ga, karena setau
saya, kami tidak perlu membayar lagi karena sudah ikut layanan
J*******K.
Ternyata memang tidak bayar sama sekali dan waktu menebus
obatnya pun juga tidak bayar sama sekali alias free (itulah guna nya
gaji yg dipotong selama ini, hahahaha…).
Tapi yang sekali lagi membuat kecewa adalah pelayanan nya (lagi dan lagi).
Kata
temanku, waktu dia di ruangan dokternya, dia cuma diperiksa ala
kadarnya (pakai stetoskop, disuruh tarik nafas, nafasnya belum dibuang
stetoskopnya sudah dipindah-pindah, kaya pura-pura meriksa gitu) dan
ditanya sedikit-sedikit (sakit apa mbak?? Nah lo?? Kita kan ke dokter
mau tau sakit kita apa. Koq malah ditanyain, ‘Sakitnya apa??’).
Pak Dokter oh Pak Dokter… Kemana jiwa ‘Dokter’ mu??
Nilai moralnya bagi saya:
Saya
baru sadar bahwa selama ini saya termasuk orang yang beruntung dan
untuk itu saya sangat bersyukur karena selama ini saya sangat dimudahkan
untuk berobat, tidak seperti orang-orang itu yang harus antri lalu
harus membayar dengan sangat mahalnya hanya untuk memeriksa kesehatan,
belum lagi untuk biaya berobat nya. Ternyata kesehatan itu mahal sekali
harganya.
Nilai moralnya bagi Pak Dokter:
Hmmm.. apa
ya?? Berharap tidak semua Dokter seperti beliau di atas. Toh
mereka-mereka itu (pasien) membayar atas semua pelayananmu. Berharap
pelayananmu akan menjadi lebih baik, tepat waktu (kalau memang bukan jam
18.00 buka prakteknya, lebih baik diganti aja tulisan di balihonya -
hehehehe.. masih sedikit dongkol...:D), dsb.
Intinya semoga pelayanan kesehatan di mana saja di seluruh Indonesia ini menjadi lebih baik... :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar