Rabu, 14 Oktober 2009

Gelembung Sabun

Gelembung sabun – Indah. Mudah mengudara namun mudah pula untuk pecah, hilang tanpa bekas…

Seperti itu kah kisahmu?? Seperti gelembung sabun. Indah. Mudah mengudara namun mudah pula untuk pecah lalu hilang tanpa bekas, terlupakan sama sekali.
Tapi kisah ini berbeda… Kisah yang tak kan mudah dilupakan penduduk suatu kota di salah satu negeri terindah di benua utara. Kisah persaudaraan sesungguhnya…

Hari itu, Rabu, 3 April ratusan tahun silam. Hari yang aneh di awal musim semi, di salah satu negeri terindah di benua utara. Rumput-rumput mulai menghijau, dan bunga-bunga mulai bermekaran dengan warna cemerlangnya. Sungguh pemandangan yang sangat indah, tapi sepertinya penduduk kota itu tidak ada yang menyadari hal tersebut. Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga untuk urusan memperhatikan pemandangan kota yang tampak indah pun, mereka sudah tak sempat lagi.
Semua penduduk benar-benar sibuk dengan urusannya masing-masing, tidak terkecuali dua bersaudara Hans dan Jack. Umur mereka yang hanya berjarak satu tahun, menjadikan mereka tampak seumuran, walaupun sebenarnya Hans adalah kakak kandung Jack. Wajah merekapun terbilang cukup mirip, seperti kembar saja. Perbedaan yang tampak mencolok dari mereka berdua, hanya terletak pada tongkat kaki Hans. Tongkat yang dipakainya sejak 5 tahun silam dikarenakan oleh sebuah kejadian.
Hans dan Jack adalah yatim piatu. Orang tua mereka meninggal ketika mereka masih sangat kecil. Ayah mereka meninggal ketika berlayar, sedangkan ibu mereka tak lama menyusul sang ayah karena terus-terusan memikirkan belahan jiwa nya yang telah pergi untuk selamanya. Memang benar kata pujangga-pujangga itu. Cinta yang terlalu kuat mengakar akan menuntut kematianmu, ketika yang kau cintai itu lebih dahulu mati.

***************************

Hari itu, 3 April adalah hari besar mereka. Karena hari itu merupakan hari penentuan: terwujud atau tertundanya mimpi Jack. Bahkan ada kemungkinan mimpi itu akan gagal sama sekali, terkubur untuk minta dilupakan selamanya… Mimpi itu, mimpi yang sudah tertanam kuat dalam otak dan asa Jack, jauh sebelum ia mengenal mimpi-mimpinya yang lain. Mimpi Jack yang juga merupakan mimpi Hans, karena bagi Hans, mimpi apapun itu, apabila itu adalah mimpi Jack, maka ia harus bisa mewujudkannya. Itu janji nya pada dirinya sendiri, sejak ia menjadi pengganti orang tua bagi Jack.

Hari itu Jack akan mengikuti lomba melukis yang diadakan oleh Gubernur kota setempat. Seperti tahun-tahun sebelumnya, lomba melukis itu selalu diadakan di Taman Kota. Pesertanya berjumlah puluhan. Hadiah utamanya memang sangat layak untuk diperebutkan. 10 juta Galleon.
Kali itu adalah kali pertama Jack mengikuti lomba lukis. Walaupun lomba itu sudah diadakan sejak tahun-tahun dulu, tapi baru kali ini ia bisa ikut, karena untuk mengikuti lomba itu, peralatan lukis harus disediakan oleh masing-masing peserta. Untuk itu, Hans dan Jack harus bekerja sangat keras demi bisa membeli kanvas dan satu paket cat minyak. Bekerja sangat keras untuk bisa menjual gelembung sabun lebih banyak lagi. Selama ini memang dengan cara itulah mereka bisa mendapatkan uang untuk hidup dan menabung sedikit-sedikit untuk membeli peralatan lukis Jack. Menjual gelembung sabun tepat di Taman Kota tersebut.

Jack memang sangat gemar melukis. Dan karena tak mampu membeli alat lukis, Jack pun melukis di atas kertas hanya dengan menggunakan pensil. Jadi selama ini lukisan Jack hanya berwarnakan hitam dan putih. Sungguh sangat membosankan, tanpa warna-warni warna. Tapi entah kenapa, walaupun lukisan itu hanya berwarnakan hitam dan putih, lukisan Jack selalu tampak hidup. Mungkin itu adalah bakat yang diberikan Tuhan. Tapi Hans lebih suka menganggap bahwa hal itu lebih dikarenakan Jack selalu melukis dengan hati. Sebagian orang mungkin akan dengan sangat mudah menuangkan isi hatinya dengan menceritakannya langsung atau mungkin dengan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Tapi bagi Jack, ia lebih senang menuangkan apa yang ia lihat dan rasakan melalui sebuah lukisan.

************************************

Tepat pukul 10.00, perlombaan pun dimulai. Semua peserta mengambil bagian nya masing-masing yang sudah ditentukan oleh panitia. Jack melukis dengan sangat serius. Hans hanya bisa mendoakannya dari sisi Taman Kota. Hans benar-benar tidak tahu apa yang akan dilukis Jack saat itu, karena Jack memang sengaja merahasiakannya dan meminta kakaknya untuk sedikit bersabar. Jack ingin lukisan itu bisa diketahui dan dilihat kakaknya tepat pada saat ia nanti mengumpulkan lukisannya. Cuma itu. Dan untuk itu Hans tidak berkeberatan sama sekali. Ia yakin adiknya punya alasan tersendiri.

Satu jam, adalah waktu yang diberikan untuk menyelesaikan lukisan itu. Satu jam yang berarti banyak, berarti segalanya, berarti sebanding dengan seluruh masa hidup yang pernah Jack lalui. Karena di satu jam ini lah, semua nya dipertaruhkan. Sungguh tak mudah melalui satu jam itu. Tidak bagi Jack, tidak pula untuk Hans.

Jack memang pandai melukis, tapi apakah ia pandai menggunakan cat minyak berwarna-warni untuk melukis? Bukankah selama ini ia selalu menggambar hitam putih dengan pensil bututnya? Selalu saja pikiran itu yang menghantui otak Hans dalam waktu satu jam itu. Tapi ia tetap mempunyai keyakinan bahwa adiknya bisa melakukan yang terbaik.

Satu jam pun berlalu. Semua peserta diminta untuk mengumpulkan lukisannya. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, semua lukisan akan dipajang untuk dipamerkan. Semua penduduk kota bisa dengan bebas menikmati lukisan-lukisan itu. Hans pun ikut bergabung dengan para penduduk kota, mencoba menikmati lukisan-lukisan yang sudah dipajang di Taman Kota itu. Hans tak tahu sama sekali, manakah yang merupakan hasil karya adik tercintanya. Namun tak sampai sepuluh menit berkeliling di Taman Kota itu, Hans sudah menemukan lukisan yang ia cari. Ia tak mungkin salah. Ia mengenali betul, hanya adiknya lah yang bisa melukis sedahsyat itu. Sebuah lukisan yang membuat Hans hampir tergugu. Selain oleh keindahannya, juga oleh ‘apa’ yang Jack lukis.

Gelembung sabun

Jack melukis banyak sekali gelembung sabun. Penuh warna. Hidup. Seolah-olah kau bisa meraih gelembung sabun itu dengan tanganmu lalu memecahkannya. Di pojok kanan bawah dari lukisan itu, tampak dua siluet remaja laki-laki. Rupanya, mereka lah peniup-peniup gelembung sabun indah itu. Dan Hans tau benar, siluet itu adalah Jack dan dirinya, hanya saja disitu ia masih benar-benar sempurna, tanpa tongkat terselip di ketiaknya. Tak terasa air mata Hans pun menetes. Untuk itu ia sama sekali tak menyadari bahwa di kiri kanan nya telah banyak orang lain yang juga terkagum-kagum dengan lukisan Jack. Lama Hans berdiri di depan lukisan itu. Ia benar-benar lupa pada orang yang telah melukis lukisan yang berhasil membuatnya meneteskan banyak air mata.

Jack yang sedari tadi memperhatikan kakak nya dari kejauhan, kini mulai mendekati kakaknya dan menyentuh bahunya dari belakang. Hans pun berpaling. Ia memeluk Jack. Memuji lukisan nya dan berharap lukisan itulah yang nantinya akan memenangkan perlombaan ini. Jikalau tidakpun, sesungguhnya Hans sudah tidak perduli lagi. Sungguh ia tidak perduli lagi. Ia sudah merasa ini semua cukup baginya.

Satu jam berlalu lagi. Penilaian panitia sudah mencapai kata final. Sang Gubernur pun berdiri di atas panggung yang memang sengaja dibangun di bagian utara Taman Kota. Dengan sedikit berteriak, ia pun mengumumkan pemenang lomba lukis tahun itu.
“Pemenang lomba lukis tahunan untuk tahun ini adalah Mr. Jack Sparlow dengan judul lukisannya ‘The Immortal Bubble – Gelembung Sabun Abadi’. Kepada Mr. Jack Sparlow kami persilakan untuk maju ke depan untuk menerima hadiah 10 juta Galleon”.
Seluruh penonton yang mendengar pengumuman itu bertepuk tangan dengan gemuruh. Jack pun maju dan naik ke atas panggung. Setelah menerima uang sebesar 10 juta Galleon, Jack pun dipersilakan berbicara menyampaikan sepatah dua patah kata. Dengan suara sedikit bergetar, Jack pun mulai bicara. Di atas panggung itu ia menyampaikan alasan mengapa ia memilih Gelembung Sabun sebagai tema lukisan yang ia lukis. Jack pun sedikit bercerita.

"Aku adalah orang paling beruntung sedunia. Sungguh. Mungkin kalian pikir aku miskin dan tidak punya apa-apa. Sesungguhnya aku punya segalanya. Aku punya kakak terbaik sedunia. Dan aku bahagia.
Dulu sekali, aku dan kakakku sering berlari sambil meniupkan gelembung sabun kami. Berharap gelembung-gelembung itu bisa terbang setinggi-tingginya. Terbang ke langit yang paling tinggi, lalu tersampaikan kepada orang tua kami yang telah lama pergi meninggalkan kami. Berharap mereka tahu, bahwa anak-anak mereka ada disini, mencintai mereka dari kejauhan. Tapi seperti yang kau tahu, gelembung-gelembung sabun itu cepat sekali pecahnya. Tapi hal itu tak kunjung membuat kami berhenti meniupnya. Kami terus saja meniupnya dan terus berharap gelembung itu bisa terbang lebih tinggi lagi.
Lalu pada suatu hari, kebiasaan indah itu terenggut oleh karena perbuatanku sendiri.
Kakakku, yang mencintaiku bahkan melebihi cintanya pada dirinya sendiri pada hari itu telah benar-benar mengorbankan dirinya untukku.
Hari itu, merupakan hari yang akan ku ingat sepanjang hidupku.
Sore itu, karena kelaparan, aku melakukan hal yang belum pernah kulakukan seumur hidupku, dan aku berjanji tak akan pernah aku melakukannya lagi meskipun akhirnya aku benar-benar mati oleh kelaparan itu sendiri.
Sore itu, aku mencuri roti dari sebuah toko roti. Roti hangat yang baru keluar dari tempat pemanggangan itu benar-benar membuatku tak mampu berpikir jernih. Membutakan segalanya. Yang aku tahu, bahwa aku sangat ingin roti itu dan aku harus mendapatkannya dengan cara apapun. Akupun mencurinya. Aku berlari keluar dari toko itu dengan membawa setangkup besar roti yang bisa dipegang oleh kedua tanganku, sambil dikejar pemilik toko dan dua orang pekerjanya. Masing-masing membawa kayu besar yang biasa mereka pergunakan untuk menggilas adonan roti.
Kakak ku yang mengetahui perbuatanku, berusaha menolongku. Entah bagaimana caranya, ia sudah berada di depan ketiga orang itu, berpura-pura menjadi aku. Karena kemiripan wajah kami, ketiga orang yang kalap itu pun tanpa pikir panjang langsung menghajar kakakku dengan kayu-kayu itu. Kakakku penuh luka dan lebam akibat dosaku. Dan luka yang paling parah yang diterima kakakku adalah kakinya. Kaki yang pada akhirnya tidak bisa lagi dipakai untuk berjalan secara normal.
Sejak hari itu aku betul-betul menyesal, meskipun kakakku selalu berkata bahwa ia tak pernah menyesal dengan mengorbankan kaki nya untukku.
Teruntuk kakakku tercinta, Hans Sparlow, aku persembahkan lukisan ini hanya untukmu. Berharap aku bisa mengembalikan masa-masa itu. Masa dimana kita bisa berlari bersama sambil meniup gelembung sabun harapan kita. Berharap gelembung sabun di lukisan itu akan abadi, tidak akan pecah seperti gelembung-gelembung sabun kita yang pernah kita tiup. Berharap cinta kita akan abadi seperti cinta kita pada orang tua kita."

Hari itu, seluruh penduduk kota ikut larut. Kisah itu benar-benar membekas. Sungguh indah dan tak mudah pecah lalu terlupakan seperti hal nya gelembung sabun. Kisah itu menjadi semacam kisah yang terus dikisahkan dari generasi ke generasi. Kisah Jack dan Hans – Gelembung Sabun Abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar